Dalam pelajaran ekonomi di sebuah SMP Negeri, seorang guru bernama pak Harto, bertanya pada murid-muridnya.
Pak Harto : “anak-anak, siapa yang bisa menjawab, mengapa bangsa Indonesia butuh investasi asing?”
Seorang anak yang dianggap paling pintar di kelas itu, Bambang, dengan percaya diri mengacungkan tangan dan menjawab :
Bambang : “ saya pak. Indonesia butuh investasi karena kita tidak punya modal, sumber daya manusia yang rendah, dan tidak memiliki teknologi untuk mengolah kekayaan alam kita pak.”
Pak Harto : “benar Bambang, seratus buat kamu”
Penggalan percakapan diatas sedikit menggambarkan bagaimana sistem pendidikan Indonesia sejak jaman Orde Baru, telah mendoktrin pikiran rakyat Indonesia, bahwa tidak ada pilihan lain jika ingin maju dan sejahtera, maka kita harus menerima investasi asing.
Sekalipun banyak tanah rakyat yang dirampas, itu harus direlakan demi kepentingan umum, dan rakyat terus dininabobokan dengan dongeng indah bahwa kelak rakyat Indonesia akan merasakan dampak yang positif, taraf kehidupan rakyat akan meningkat berkat kehadiran investasi asing.
Justeru karena rata-rata kita pernah mengenyam kurikulum pendidikan yang sama, maka sebagian besar dari kita pun berpikir bahwa benar Indonesia tidak akan maju tanpa kehadiran perusahaan-perusahaan asing dalam mengolah kekayaan alam Indonesia.
Demikian halnya ketika buruh Freeport bergolak menuntut kenaikan upah, banyak wacana yang berkembang, “kalau Freeport tidak menguntungkan, kenapa harus dipertahankan keberadaannya, kenapa tidak dinasionalisasi saja?”
Namun jauh lebih banyak pandangan yang beranggapan bahwa, “kita tidak bisa mengusir Freeport dari Indonesia. Lagipula, kalau Freeport pergi, apa masyarakat Papua bisa merasakan modernisasi? Apa perekonomian yang selama ini sudah berjalan di Papua, masih akan bisa berjalan? Dan siapa yang akan mengolah kekayaan alam di Papua?”
Saya pun bertanya, “yang mana yang dimaksudkan dengan perekonomian yang maju? Bukankah pemerintah sendiri yang menjelaskan bahwa dari hingga saat ini, Papua merupakan propinsi termiskin dengan tingkat Indeks Pembangunan Masyarakat terendah?”
Lalu ada lagi yang beranggapan bahwa, “wajar saja upah buruh Indonesia rendah, toh hal itu sebanding dengan kualitasnya yang rendah!”
Apakah kita tidak pernah berpikir, kenapa kualitas rakyat Indonesia rendah? Apa sebegitu jahatnya Tuhan menciptakan rakyat Indonesia sebagai orang yang bodoh?
Bukan. Ini bukan takdir Tuhan. Setiap manusia tidak diciptakan bodoh. Yang membuat orang itu bodoh hanya karena persoalan rendahnya asupan gizi selama ibunya mengandung, dan selama masa pertumbuhannya, karena semakin mahalnya harga pangan, dan juga karena semakin rendahnya akses rakyat atas pendidikan.
Lagipula, tidak ada alasan yang masuk akal, bahwa buruh Indonesia layak mendapatkan upah murah karena rendahnya sumber daya mereka. Bukankah industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia adalah industri pengolahan makanan, minuman, tembakau, dan juga pengolahan barang konsumsi lainnya? Bukankah industri Indonesia juga hanya sebatas memproduksi bahan mentah untuk di eksport seperti industri tambang, perkebunan sawit, dan sebagainya? Dan bukankah industri yang dinilai canggih seperti seperti kendaran bermotor dan elektronik, hanya sebatas industri rakitan yang bahan bakunya di import dari hasil produksi industri negeri-negeri imperialis, padahal bahan mentahnya dikeruk dari kekayaan alam kita?
Jika seperti itu, maka untuk menjadi seorang buruh, tidak harus menjadi seorang sarjana dengan biaya kuliah yang sangat mahal. Apalagi untuk industri pengolahan makanan dan minuman yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia, cukup dengan lulusan Sekolah Dasar saja. Itu sebabnya mengapa angkatan kerja di Indonesia yang paling besar jumlahnya adalah lulusan SD.
Jika seperti itu, kenapa pemerintah dan para pengusaha yang rakus itu selalu mengatakan bahwa wajar jika upah buruh Indonesia rendah karena kualitasnya juga rendah?
Dan setiap kali pemerintah berbicara tentang program untuk menarik investasi secara besar-besaran, pemerintah selalu mengatakan “investasi Indonesia harus kompetitif”. Yang dimaksudkannya dengan kompetitif adalah bagaimana memberikan jaminan biaya produksi yang semurah-murahnya bagi para investor, seperti pajak yang murah, bahkan sampai penangguhan pajak dalam kurun waktu tertentu, termasuk upah buruh yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Negara-negara lain. Karena dengan begitu, para investor akan mau berinvestasi di Indonesia karena akan mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat ganda.
Lalu ada lagi yang beranggapan, “wajar jika orang berusaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka sudah sepantasnya para pengusaha mengejar biaya produksi yang semurah mungkin. Kalau upah buruhnya mahal, tentu pengusaha akan rugi, karena harus menanggung biaya lain seperti membeli bahan mentah atau bahan baku, bahan bakar, biaya perawatan mesin, pajak, dan sebagainya”.
Kenapa kita tidak bertanya, “lalu apakah bukan hal yang wajar jika buruh mengadaikan tenaganya berharap bisa memperbaiki kualitas hidupnya?” Lagipula, sesungguhnya para pengusaha itu tidak pernah rugi ketika harus menaikkan upah buruh, karena dari harga setiap barang yang dijual, sudah termasud dengan seluruh biaya produksi yang dikeluarkan, mulai dari biaya pembelian bahan mentah atau bahan baku, bahan bakar, biaya perawatan mesin, termasuk upah buruh dan besaran pajak yang harus dibayar kepada Negara, dan biaya-biaya lainnya, sampai besaran keuntungan yang harus didapatkan pengusaha.
Lalu ada yang menanggapi, “jika tidak suka dengan ketentuan upah yang ditetapkan suatu perusahaan, kenapa tidak buka usaha sendiri saja?”
Apakah kita tidak berpikir bahwa tidak mudah untuk membuka usaha sendiri, butuh modal, belum lagi jika harga bahan bakar naik, tarif listrik naik. Tentu para pengusaha kecil tersebut akan sangat kesulitan menanggung pembengkakan biaya produksi karena terbatasnya modal, tidak seperti perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang besar, sehingga mampu memonopoli pasar dengan harga barang yang lebih murah. Apalagi jika sekarang, usaha kecil-kecilan seperti warung tegal sekalipun, juga sudah dikenakan wajib pajak.
Dan sayangnya lagi, terlalu banyak rakyat Indonesia yang menjadi pengangguran, sementara lapangan pekerjaan yang tersedia sangatlah minim. Sekalipun pemerintah mengatakan bahwa angka pengangguran itu berkurang, pada kenyataanya presentase terbesar angkatan kerja di Indonesia terserap di sektor-sektor informal yang sewaktu-waktu mereka bisa kehilangan pekerjaannya. Dengan begitu, rakyat Indonesia memang tidak punya banyak pilihan selain terpaksa menerima ketentuan upah yang murah.
Sudah seperti inipun masih saja ada yang menanggapi, “seharusnya mereka lebih kreatif dalam menjalankan usahanya sehingga bisa laris dipasaran”. Sayangnya sebagian besar rakyat Indonesia tidak seberuntung mereka yang bisa mengakses pendidikan sehingga bisa berpikir kreatif. Dan kalaupun ada yang dari mereka yang dengan tingkat pendidikan yang rendah dan latar belakang ekonomi yang susah, bisa berhasil menjalankan usahanya, jumlah itu sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang terus terpuruk keadaannya.
Jika sudah begini, pada akhirnya banyak yang beranggapan pasrah “mungkin memang benar dengan yang namanya takdir, sepertinya kita sudah harus pasrah menerimanya”.
Maaf, tulisan ini tidak bermaksud menyebarkan pandangan pesimis dalam menghadapi keadaan. Tetapi hanya mencoba meluruskan pandangan yang keliru dari sebagian orang yang terus menyalahkan rakyat atas keadaan yang mereka alami. Rakyat tidak salah, rakyat tidak malas berusaha, dan rakyat juga tidak dilahirkan bodoh, tetapi sistem di Negara inilah yang salah, yang tetap mengekang sebagian besar rakyat Indonesia dalam keterpurukkannya. Dan jika rakyat berjuang menuntut hak-hak mereka, itu karena mereka sudah bosan dengan keadaan terpuruk yang mereka rasakan, mereka bergerak atas kesadaran mereka sendiri, tanpa ada provokasi dan hasutan dari pihak manapun sebagaimana tuduhan yang selalu diberikan oleh sebagian orang, termasuk oleh pemerintah sendiri.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.