Wednesday, December 28, 2011

Tragedi Sape : SBY Kembali Menunjukkan Karakternya Sebagai Kaki Tangan Imperialis Yang Fasis Dan Anti Rakyat

Salah korban tragedi Sape
Belum hilang memori rakyat atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Papua dan Mesuji, drama keji pembantaian terhadap manusia kembali dipertontonkan di negeri ini. Celakanya, pembantaian tersebut kembali dilakukan oleh aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat. Bagaikan menghadapi musuh perang, aparat kepolisian dengan beringasnya menembaki rakyatnya sendiri sehingga menyebabkan meninggalnya 2 orang, dan 1 orang lagi dikabarkan meninggal akibat shock, dan belasan lainnya dalam keadaan kritis.

Bukan Kapolsek, Bukan Kapolda, Bukan Kapolri, Melainkan SBY Sebagai Penanggungjawab Utama.
Sama halnya dengan tragedi kemanusian lainnya ketika rakyat ditembaki oleh aparat kepolisian, gerakan solidaritas rakyat pun meluas menyampaikan simpatik terhadap gerakan rakyat dan mengecam tindakan aparat kepolisian yang membabi buta tersebut. Salah satu tuntutan utama yang sering digelorakan oleh gerakan rakyat adalah pecat pejabat tinggi dari institusi yang terkait dengan kejadian tersebut.

Demikian halnya dengan tragedi Sape, salah satu tuntutan utama dari gerakan solidaritas rakyat atas tragedy kemanusiaan di Sape adalah pecat Kapolsek Bima, Kapolda NTB, dan Kapolri. Namun yang harus dipahami, kepolisian merupakan alat Negara, apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah kepentingan politik dari pemimpin negeri ini. Kepolisian sebagai alat Negara akan bertindak sesuai dengan karakter dan kepentingan dari pemimpin Negara ini.

Maka, jika SBY sebagai presiden berkedudukan sebagai kaki tangan imperialis, yang segala kebijakannya diabdikan demi kepentingan imperialis, maka demikian dengan kepolisian dan alat Negara lainnya, akan melakukan segala upaya untuk melayani majikannya; sang imperialis yang serakah.

Dengan demikian, SBY adalah penanggungjawab utama dari sekian tragedi kemanusian yang terjadi di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang mana rakyat ditembaki demi melayani kepentingan dari perusahaan-perusahaan milik imperialis dan kaki tangannya.

Selain itu, ketika rakyat Bima menuntut dihentikannya eksplorasi tambang yang ada di Sape, dalam beberapa kali aksi yang dilakukan, Bupati Bima selalu memberikan jawaban bahwa dia tidak memiliki kewenangan untuk mencabut ijin tersebut, karena ijin tersebut dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa SBY harus bertanggungjawab atas tragedi kemanusian yang terjadi di Sape.

Tuntaskan Persoalan Utama, Cabut Ijin Pertambangan.
Ketika telah terjadi tragedi kemanusian, maka isu utama yang sering dibicarakan adalah tindak kekerasan itu sendiri. Sementara isu utama yang melatarbelakangi terjadinya tragedi kemanusian tersebut, hampir tidak dibicarakan sama sekali. Demikian halnya dengan tragedy kemanusian yang terjadi di Sape.

Yang menjadi persoalan utama adalah konflik agraria. Dalam hal ini, rakyat Sape menolak keberadaan aktifitas pertambangan dari PT Sumber Mineral Nusantara, karena ditakutkan akan menghancurkan sumber penghidupan mereka sebagai petani.

Jika persoalan utama, konflik agraria tersebut tidak diselesaikan, maka akan selalu ada perjuangan rakyat untuk menolaknya, demikian halnya, maka akan selalu ada tindak kekerasan yang dilakukan oleh alat Negara untuk memaksakan keberadaan pertambangan tersebut. Karena hal ini merupakan persoalan persoalan yang paling mendasar bagi rakyat Sape (demikian halnya dengan kasus agrarian lainnya), yakni untuk mempertahankan hidup. Keberadaan tambang yang mengancam sumber air bagi pertanian sama halnya akan membunuh petani secara perlahan-lahan.

Saatnya untuk moratorium.
Konflik-konflik agraria yang didasari oleh keberadaan aktifitas pertambangan, telah menjadi salah satu penyebab utama dari sekian banyak tragedi kemanusian yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah dengan pengelolahan sumber-sumber kekayaan alam, khususnya sektor pertambangan, bahwa pertambangan pada kenyataannya tidak mensejahterakan rakyat.

Pada diskusi dan pameran Peran Industri dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan yang diselenggarakan Enviromental Geography Student Association (EGSA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (7/1/2011), Ahli Geografi Ekonomi Kependudukan; Abdur Rofi memaparkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Provinsi Riau, misalnya, menyumbang lebih dari 50% total produksi dan devisa minyak bumi. Namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong tinggi, mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% , dan di Aceh mencapai 20,98 persen. (Kompas, 7/1/2011)

Demikian halnya dengan yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang  atau 21,55% dari total penduduk NTB. Hal ini menempatkan NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin di Indonesia.

Hingga Juli 2011, terdapat sekitar 197 Perusahaan tambang di NTB, dengan rincian 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam, dan 101 perusahaan batuan (Suara NTB, 16/7/2011). Luas Wilayah Pertambangan (WP) yang direncanakan pemerintah propinsi NTB adalah sebesar 891.590 hektar atau 44,24% dari total luas daratan NTB.

Namun jumlah penguasaan tanah oleh sektor pertambangan tersebut, tidak sebanding dengan daya serap atas lapangan pekerjaan bagi penduduk NTB. Berdasarkan data BPS NTB, dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2009 sebesar 1.967.380 orang, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 33.068 orang atau 1,68%. Dan hingga Agustus 2010, BPS NTB mencatat bahwa dari jumlah angkatan kerja di Provinsi NTB sebanyak 2.252.076, jumlah yang bekerja adalah mencapai 2.132.933 orang atau 94,71%. Dengan demikian jumlah pengangguran di NTB mencapai 119.143 orang atau sekitar 5,29%. Namun dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2010, jumlah yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 18,9%, sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai sekitar 81,1%. Dengan demikian, angka pengangguran di NTB sesungguhnya jauh lebih besar dari 5,29%.

Jika dikalkulasikan dari luas WP sebesar 891.590 hektar dengan jumlah serapan tenaga kerja yang mencapai 33.068, maka rata-rata penguasaan tanahnya mencapai 26,96 hektar/orang. Jumlah tersebut sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah luas lahan dan serapan tenaga kerja di sektor pertanian yang mana rata-rata kepemilikan tanahnya hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan rasio 3 hingga 5 orang per satu rumah tangga pertanian.

Sejauh ini jumlah lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan adalah sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektar, non irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan lahan kering seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai 175.863,45 hektar. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja. Disatu sisi, laju pertumbuhan alih fungsi lahan pertanian di NTB mencapai 4% setiap tahunnya.

Tingginya penguasaan tanah oleh sektor pertambangan yang berdampak pada semakin sempitnya penguasaan tanah pertanian rakyat, disatu sisi rendahnya daya serap tenaga kerja oleh sektor pertambangan, telah menjadi penyebab utama dari semakin tingginya jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Hingga tahun 2009, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal asal NTB adalah mencapai 53.731 (NTB Dalam Angka, 2010).

Jika di ukur dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, sumbangan sektor pertambangan juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan sektor pertanian. Misalnya pada triwulan II tahun 2011, sektor pertambangan menyumbang sebesar Rp 2,81 triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar Rp 2,53 triliun atau sekitar 22,50% dari total PRDB NTB. Jika dibandingkan dengan tingkat penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka persentase sumbangan dari sektor pertambangan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian.

Inilah salah satu kelemahan terbesar dari sistem perekonomian di Indonesia yang sebatas mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi, tanpa berbicara tentang pemerataan, seberapa besar peningkatan kualitas hidup rakyat secara riil.

Rendahnya pendapatan daerah dari sektor pertambangan, serta rendahya rata-rata pendapatan rakyat NTB, khususnya kaum tani akibat dari sempitnya penguasaan tanah, telah memberikan sumbangsih pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat NTB dalam berbagai sektor. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB hingga saat ini masih menempati urutan ke-32 dari 33 propinsi di Indonesia. Sampai akhir tahun 2010, jumlah buta aksara di NTB masih sebanyak 225.478 orang. Dan rata-rata lama sekolah di wilayah NTB hanya mencapai 7,2 tahun. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD, selama tahun 2010 mencapai 5.578 orang dari total 600 ribu orang, SLTP mencapai 2.415 orang dari total 170.560 siswa, SMA mencapai 1.966 dari total 92.445 orang siswa, dan SMK mencapai 955 orang dari total 35.990 orang siswa. Data angka putus sekolah ini baru dari sekolah dibawah pengawasan langsung Dikpora provinsi dan kabupaten/kota, belum termasuk sekolah dibawah Kanwil Agama yang juga ada yang putus sekolah.

Sementara tingkat pendidikan tenaga kerja NTB juga masih di dominasi oleh lulusan SD. Hingga tahun 2009, dari jumlah pencari kerja yang sudah di tempatkan mencapai 24.550 orang, lulusan SD ke bawah sebanyak 14.442 orang atau 59%, SLTP sebanyak 6.541 atau 26,5%, SLTA sebanyak 2.710 atau 11%, sedangkan Diploma dan Sarjana hanya mencapai 857 orang atau 4,5%.

Persoalan lainnya adalah dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat keberadaan aktifitas pertambangan. Dari total luas WP yang direncenakan Pemprop NTB mencapai 891.590 hektar, yang berada di dalam kawasan hutan adalah seluas 479.311,13 hektar (53,75%) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektar (46,25%). Bahkan untuk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dari 126.261 hektar luas kawasan hutan, termasuk hutan lindung, sekitar 90% nya merupakan wilayah pertambangan.

Akibatnya jumlah sumber air di NTB terus mengalami pengurangan yang sangat signifikan dan mengancam terjadinya krisis air. Data versi Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB, wilayah NTB telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktek illegal logging dan eksploitasi tambang secara berlebihan. Mata air di wilayah NTB yang dulunya mencapai 500 titik kini tinggal 120-an titik saja karena terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS.

Hal ini terus berdampak pada peningkatan luas lahan kritis di NTB. Dari data yang ada, sebanyak 64 ribu hektar lahan kering dari total 1.807.463 hektar atau 84,19% dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau mengalami penurunan fungsi. Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26% dari luas daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan kritis nonhutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa. Selain itu, sekitar 480 ribu hektar hutan lindung, 419 ribu hektar hutan produksi, 170 ribu hektar non produksi termasuk 41 ribu hektar di dalam kawasan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan 128 ribu hektar kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami degradasi 50 ribu hektare setiap tahunnya.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pertambangan belum mampu mensejahterahkan masyarakat, justeru sebaliknya berdampak buruk pada kerusakan ekosistem, semakin minimnya penguasaan lahan oleh petani yang terus berdampak semakin pendapatan kaum tani. Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan pertambangan dengan ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk menetukan pengelolahan sumber-sumber kekayaan alam berdasarkan aspirasinya.

3 komentar:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More