Tuesday, October 18, 2011

Skenario Perampasan Tanah Dibalik Isu Krisis Pangan Global


Tanggal 16 Oktober 2011, dunia internasional memperingatinya sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Tanggal ini di tetapkan berdasarkan tanggal pendirian organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Namun peringatan hari pangan sedunia baru ditetapkan dalam konferensi umum FAO pada bulan November 1979 dan diperingati untuk pertama kalinya pada 16 Oktober 1980.


Di peringatannya yang ke-31, tema yang diambil FAO adalah “Food Prices; From Crisis To Stability“. Hal ini merujuk pada keadaan harga pangan dunia yang terus mengalami peningkatan. Sementara pemerintah Indonesia sendiri mengambil tema “Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional” yang diperingati di Kabupaten Gorontalo karena keberhasilan kabupaten tersebut dalam meningkatkan produksi jagung.

Berdasarkan data yang dirilis FAO, produksi sereal dunia hingga 6 Oktober 2011 berada pada level 2.310.3 juta ton, meningkat 68,3 juta ton atau hampir 3 persen dibandingkan dengan tahun 2010/2011. Sementara tingkat konsumsi pangan dunia mencapai 2.797,8 juta, meningkat sebesar 29,5 juta ton atau 1,3 persen dibandingan 2010/2011. Sementara untuk produksi beras dunia, berada pada level 480,5 juta ton, meningkat sebesar 14,1 juta ton atau 3 persen dari tahun 2010. Sementara tingkat konsumsi beras mencapai 470,8 juta ton, meningkat sebesar 9,9 juta ton atau 2,1 persen dibandingkan tahun 2010. Dengan demikian, stok seral dunia berada pada level 494,4 juta ton dan stok beras dunia pada level 148,1 juta ton.[1]

Data diatas menunjukkan bahwa, tingkat produksi pangan dunia cukup untuk memenuhi tingkat konsumsinya, bahkan melebihi (surplus). Namun disatu sisi, masih bangat rakyat di berbagai Negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Seperti yang dirilis FAO, tiap 6 detik seorang anak meninggal karena kelaparan. Dan sekitar 900 juta orang di dunia yang kekurangan pangan, dan dari jumlah tersebut, sekitar 570 jutanya hidup di wilayah Asia-Pasifik termasuk Indonesia.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor harga pangan yang terus mengalami peningkatan secara drastis. Seperti yang dirilis FAO, Indeks harga pangan (IHP) menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Desember 2010, IHP dunia berada di  posisi 223, dan Februari 2011 menyentuh level tertinggi yakni sebesar 238. Dan hingga September 2011, IHP berada pada posisi 225.[2]

Menurut Food Price Watch, harga pangan global tahun 2011 secara signifikan lebih tinggi dibanding tahun 2010. Sejak krisis pangan melanda tahun 2007 hingga sekarang terjadi kenaikan harga komoditas jagung hingga 84%, gula 62%, gandum 55%, dan minyak kacang kedelai 47%. Sementara sebesar 60-70% dari pendapatan rata-rata rakyat diseluruh dunia digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian, kenaikan harga pangan tentu akan berdampak pada semakin banyaknya rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.

Krisis Pangan dan Sempitnya Kepemilikan Lahan Rakyat.
Persoalan krisis pangan sangat dipengaruhi oleh luas lahan pertanian pangan itu sendiri. Luas lahan pertanian pangan yang semakin berkurang, tentu berdampak pada tingkat produksi pangan juga akan ikut menurun. Apalagi jika sistem pertanian yang dijalankan, adalah sistem pertanian tradisional yang masih sangat bergantung pada iklim/musim, dengan penggunanaan alat kerja yang masih sederhana.

Selain itu, soal yang paling pokok adalah, kepemilikan jumlah lahan tentu akan berdampak pada tingkat kesejahteraan kaum tani yang akan menentukan kemampuan kaum tani dalam memenuhi kebutuhan akan pangan.

Dari data yang dipaparkan oleh Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (INDEF), di sepanjang tahun 2007 hingga 2010 saja, jumlah luas lahan pertanian produktif di Indonesia yang mengalami alih fungsi mencapai 600.000 Ha. Disatu sisi, jumlah rumah tangga pertanian terus mengalami peningkatan. Saat ini, rata-rata kaum tani Indonesia hanya menguasai lahan sebesar 0,5 ha dengan rata-rata satu rumah tangga pertanian menghidupi 3-5 orang. Bahkan di Pulau Jawa dengan populasi penduduk terpadat, rata-rata penguasaan tanah kaum tanu hanya mencapai 0,3 hektar. Belum lagi jika bicara tentang mahalnya biaya produksi pertanian yang semakin meningkat. Misalnnya saja dengan harga pupuk yang sangat mahal sebagai akibat dari mahalnya biaya produksi, salah satunya dari segi bahan bakar karena minimnya pasokan gas bagi industri pupuk.

Sementara itu, upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri juga cenderung berpihak pada kepentingan pasar, menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi asing. Bukannya semakin meningkatkan akses rakyat atas pangan, justeru harga pertanian lokal anjlok karena kalah bersaing dengan hasil pertanian import yang “diberi label lebih berkaulitas” dan jelas lebih murah karena disubsidi oleh pemerintahnya.

Kapasitas impor pangan juga terus mengalami peningkatan. Apalagi, dalam program Master Plan Percepatan Pembangunan dan Ekonomi Indonesia (MP3EI), terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan nasional, pemerintah membebaskan biaya import bahan baku bagi industri makanan dan minuman seperti susu, keju, gandum, dan sebagainya. Hal ini tentu akan semakin mengancam hasil pertanian nasional dan meneguhkan posisi Indonesia sebagai pasar pangan import.

Pada akhirnya, hasil produksi pangan nasional akan semakin tersingkir sehingga berdampak pada semakin rendahnya pendapatan kaum tani yang menyebabkan semakin susahnya kaum tani dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Seperti data yang dipaparkan Badan Pusat Statistik (BPS), dari total jumlah kemiskinan di Indonesia yang mencapai 30,02 juta orang atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia, 72%nya berasal dari sektor pertanian. Jumlah ini dipastikan jauh lebih besar karena indikator kemiskinan di Indonesia hanya diukur dari jumlah pengeluaran yang hanya sebesar Rp. 230.000 per orang setiap bulannya.

Sementara itu, seperti yang dikemukan oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Sedikitnya 450 ribu siswa dari 3,7 juta siswa yang lulus dari jenjang SMP putus sekolah karena kurang gizi. Dari jumlah itu, satu dari enam siswa mengalami kekurangan gizi akut dan satu dari tiga siswa mengalami kekurangan gizi kronis. (Kompas, 22/9/2011).

Krisis Energi Sebagai Salah Satu Faktor Pemicu Krisis Pangan
Selain karena krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah berdampak pada semakin terpuruknya perekonomian global, kenaikan harga pangan juga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya permintaan bahan pangan yang tidak hanya diperuntukkan bagi konsumsi manusia, tetapi juga diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan bahan mentah untuk pembuatan energi nabati (bio fuel dan bio solar) yang disebabkan oleh adanya krisis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara).[3]

Data dari tahun 2005 memperlihatkan bahwa konsumsi global akan minyak bumi per tahunnya mencapai 30 miliar barrel dibandingkan dengan temuan baru minyak bumi yang jumlahnya hanya 8 miliar barrel per tahun.[4] Sepuluh negeri terkaya di dunia mengkonsumsi hampir seluruh energi berbahan fosil dunia yang komposisinya terdiri dari minyak bumi (sekitar 35-38%), batu bara (23%) dan gas alam (21%), yang bahan bakunya kebanyakan dihasilkan dari negeri-negeri lain.[5] Sementara Amerikan Serikat sendiri, hingga saat ini tetap berada pada urutan pertama sebagai Negara dengan tingkat konsumsi minyak bumi terbesar di dunia yang mencapai sekitar 25% dari total persediaan minyak bumi dunia. Jika tingkat konsumsi minyak bumi AS ini tetap seperti ini, maka pada tahun 2025, AS akan mengkonsumsi 50% dari total persediaan minyak bumi dunia.[6]

Jika keadaannya terus seperti ini, maka diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[7]

Sebelum sumber minyak tersebut benar-benar habis, negeri-negeri Imperialis, AS dan sekutu-sekutunya semakin gencar melancarkan perang perampasan sumber-sumber energi minyak bumi yang kemudian dibungkus dengan kampanye global “perang melawan terorisme.”

Selain itu, negeri-negeri imperialis juga gencar mengkampanyekan penggunaan bahan bakar nabati yang telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) seperti tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak, kelapa sawit, dan singkong, telah diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.

Bersembunyi di balik isu pemanasan global, melalui penandatanganan Protokol Kyoto yang berlaku hingga tahun 2012, negeri-negeri imperialis mengklaim telah melakukan pengurangan gas emisi, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati pada industri mereka. Sebaliknya mereka gencar memaksakan negeri-negeri di belahan bumi bagian selatan seperti Indonesia untuk memproduksi energi nabati sebagai bahan bakar industri mereka yang umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara).

Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan[8], dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya. Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya.[9]

Dengan demikian, negeri-negeri imperialis tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya. Indonesia misalnya, di Kalimantan dan Papua, tanah yang digunakan adalah tanah gambut, selain tanah hutan. Bahkan banyak yang masih merupakan tanah hutan primer, langsung dibabat menjadi perkebunan biodiesel (kelapa sawit di Kalimantan dan Papua, Indonesia) dan perkebunan bioetanol (tebu di Amazon, Brazil). Sehingga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi semacam ini, dapat meraup dua keuntungan sekaligus, yakni kayu gelondongan dan komoditas perkebunan yang harganya semakin mahal.

Perampasan tanah dan upaya meraup keuntungan berlipatganda oleh koorporasi internasional.
Krisis finansial global, krisis pangan, dan krisis energi, sepertinya telah menjadi faktor penggerak utama bagi semakin gencarnya aksi perampasan tanah-tanah rakyat dan aksi “ambil untung” secara besar-besaran yang dilakukan oleh koorporasi-koorporasi internasional skala besar di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Ditengah bangkrutnya sektor industri Amerika Serikat dan Uni Eropa, tren harga pangan terus mengalami peningkatan. Tentu ini merupakan peluang investasi yang sangat menguntungkan. Deutsche Bank, bank asal Jerman, mengusulkan agar investor global berinvestasi di bidang pertanian, emas dan hedge fund. Chief Investment Officer Deutcsche Bank Asia mengatakan “Kami memiliki pandangan positif terhadap komoditas pertanian karena populasi dan pendapatan penduduk global akan meningkat, lahan pertanian mulai terbatas sehingga memicu permintaan protein.”[10]

Sementara itu, Direktur Jenderal FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), Jacques Diouf menyatakan bahwa untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada pilihan lain bagi dunia selain memanfaatkan teknologi. Dia menegaskan, teknologi merupakan kunci peningkatan produktivitas tanaman pangan. Karena itu, menurutnya, swasta perlu lebih banyak berperan.[11] Hal ini menunjukkan adanya upaya liberalisasi besar-besaran di sektor pertanian.

Akibatnya, semakin besar penguasaan korporasi internasional dalam industri pertanian. Pada bulan November 2008, Daewoo Logistics perusahaan milik Korea Selatan, menyatakan akan menanam modal sebesar US$ 6 miliar untuk mengembangkan lahan seluas 1,3 juta hektar di Madagaskar untuk memproduksi 4 juta ton jagung dan 500.000 ton kelapa sawit per tahun yang sebagian besar hasil produksinya akan dibawa keluar Madagaskar. Di Kamboja, negeri kaya minyak, Kuwait, menyediakan dana pinjaman sebesar US$ 546 juta sebagai imbalan atas produksi pertanian. Sementara Filipina telah membuka pembicaraan dengan Qatar soal kontrak sedikitnya 100.000 hektar lahan pertanian. Di Laos, para pakar memperkirakan 2 juta hektar hingga 3 juta hektar lahan pertanian telah “dihadiahkan” kepada pihak asing secara tidak terkendali.[12]

Black Rock Inc. yang berkantor pusat di New York, lembaga pengelola uang terbesar di dunia dengan lebih dari US$ 1,5 triliun dalam buku keuangannya, telah merancang dana perlindungan pertanian sebesar US$ 200 juta, yang US$ 30 juta di antaranya akan digunakan untuk memperoleh lahan pertanian di seluruh dunia.

Sementara itu, wilayah paling subur yang terbentang mulai dari Ukraina hingga selatan Rusia menjadi arena kompetisi perebutan tanah yang paling panas. Morgan Stanley, yang baru saja bergabung dalam antrian membantu Departemen Keuangan AS, belakangan telah membeli 40 ribu hektar lahan pertanian di Ukraina. Renaissance Capital, sebuah biro investasi dari Rusia, memiliki hak perolehan lahan pertanian di Ukraina seluas 300 ribu hektar. Black Earth Farming, kelompok investor asing dari Swedia, memegang kendali akuisisi 331 ribu hektar lahan pertanian di wilayah bumi hitam Rusia. Alpcot-Agro, perusahaan investasi Swedia yang lain, telah membeli hak atas lahan seluas 128 ribu hektar juga di sana. Sementara Landkom, kelompok investor asing dari Inggris, telah membeli lahan pertanian hingga 100 ribu hektar di Ukraina dan berjanji akan memperluasnya hingga 350 ribu hektar pada tahun 2011. Semua lahan ini akan digunakan untuk memproduksi padi, minyak nabati, daging dan susu untuk memenuhi pasar dunia yang tengah kelaparan.

Demikian halnya yang terjadi dengan Indonesia. SBY mempercayai bahwa, dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani kecil. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari ditetapkannya Undang-Undang No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang memberikan jalan masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal, nasional maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 18 juta hektar kawasan hutan ditawarkan untuk kegiatan pembangunan ekonomi berkelanjutan hingga tahun 2025 bagi energi biomassa, minyak sawit, dan tambang. Kemenhut memproyeksikan setiap tahun sebanyak 500.000 ha lahan digunakan untuk energi biomassa dan dalam hitungan sepuluh tahun, sudah 5 juta ha hutan terdegradasi digunakan. Selain kawasan hutan untuk energi biomassa, Kemenhut juga menyajikan kawasan hutan untuk minyak sawit dengan perhitungan rata-rata 300.000 ha per tahun, dan dalam waktu 20 tahun, hutan terdegradasi yang dapat ditanami sawit mencapai 6 juta ha. Sementara kawasan hutan untuk tambang disediakan 2 juta ha untuk keperluan 20 tahun dengan perhitungan setiap tahun terserap 100.000 ha. Sekira 18 juta ha ada yang masuk pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 35,41 juta ha atau berada di luarnya. Total 35,41 juta ha itu mencakup hutan tanaman industri 9,18 juta ha, hutan tanaman rakyat 5,5 juta ha, restorasi ekosistem 7,46 juta ha, dan hutan alam 13,23 juta ha. Pemanfaatan 18 juta ha ini digunakan untuk mencapai tujuan pengurangan emisi 26% dan pembangunan ekonomi 7%.(Bisnis.com, 27/11/2011)

Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[13] UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Demikian halnya dengan kebijakan pembebasan pajak (tax holiday) hingga rentan waktu 10 tahun yang akan memperbesar dominasi asing atas penguasaan sumber-sumber kekayaan alam di Indonesia.

Ironisnya, sementara banyak negeri yang mengamankan stok pangannya untuk kebutuhan nasional, pemerintah Indonesia justeru menarik investasi di sektor pangan secara besar-besaran untuk orientasi ekspor. Disisi lain, Indonesia sendiri selama sepuluh tahun terakhir merupakan negeri pengimpor utama bahan pangan (antara lain beras, kedelai, gula, garam, jagung), tentu dapat dipastikan mendapatkan pukulan yang paling hebat, karena krisis pangan dunia ini. Setiap tahun Pemerintah Indonesia harus menguras devisa lebih dari US$ 5 miliar atau senilai dengan Rp 50 triliun, untuk mengimpor pangan.[14] Dan pada akhirnya, kaum tani dan rakyat Indoesia pada umumnya, semakin kehilangan aksesnya atas kebutuhan pangan.



[3] Fueling Disaster: A Community Food Security Perspective on Agrofuels, Laporan oleh the Community Food Security Coalition International Links Committee, Desember 2007, hal. 9.
[4] Lihat Gerardo Cerdas Vega, “Monocultures and agrofuels: key elements for debate,” dalam Red Sugar, Green Deserts: Latin American report on monocultures and violations of the human rights to adequate food and housing, to water, to land and to territory. Editor Maria Silvia Emanuelli, Jennie Jonsen dan Sofia Monsalve Suarez. Heidelberg: FIAN International, Desember 2009, hal. 51.
[5] Ibid, hal. 49-65.
[6] Lihat Michael Klare, Blood and Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us. London: Penguin Books, 2004, hal. 11.
[7] Lihat laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food and financial security,” Oktober 2008. http://www.grain.org/go/landgrab
[8] Setengah jajahan adalah bentuk jajahan yang tidak menggunakan kekuatan bersenjata (kolonialisasi), melainkan dengan pemerintahan kaki tangan, yang mana kebijakan-kebijakannya diabdikan untuk melayani kepentingan dari negeri-negeri imperialis. Dalam banyak alasan, Indonesia merupakan negeri setengah jajahan.
[9] Lihat artikel Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia: Fuelling poverty, conflict, deforestation and climate change,” dalam buletin Seedling, Juli 2007, hal. 25- 33.
[10] Lihat “Ekonomi Global Diprediksi Melambar,” dalam harian umum Koran Tempo, 31 Januari 2008, hal.B7.
[11] Lihat Hermas E Prabowo, “Menyongsong Industrialisasi Pertanian”, dalam harian umum Kompas, Selasa, 22 Desember 2009.
[12] “Tren Global: Negara Maju “Merampas” Lahan,” dalam harian umum Kompas, Senin, 5 Januari 2009.
[13] UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal memberi Hak Guna Usaha (HGU) tanpa pembedaan asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun.
[14] Harian umum Kompas, 24 Agustus 2009, “RI Terjebak Impor Pangan.”

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More