Oleh : Mario Kulas
Akhir-akhir berita tentang krisis pangan dunia semakin gencar diberitakan oleh media massa, baik internasional maupun nasional, bahkan hingga media massa lokal diseluruh penjuru tanah air. Diperkirakan 9,3 miliar penduduk dunia terancam mengalami krisis pangan pada tahun 2050. Hal ini disampaikan oleh Corporate Affairs Lead Mosanto Indonesia Herry Kristanto dalam acara buka puasa dengan wartawan di Jakarta, Kamis 18/8/2011 (Kompas, 19/8/2011).
Akibat situasi ini, Food and Agriculture Organization/FAO, sebuah organisasi pangan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan pemerintahan di berbagai penjuru dunia, menjalankan berbagai program guna mengatasi masalah krisis pangan tersebut. Demikian halnya dengan Indonesia, yang juga gencar menjalankan beberapa program untuk mengatasi persoalan krisis pangan tersebut. Misalnya saja, pencanangan program pertanian pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE atau Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang akan merampas tanah kaum tani seluas 2,8 juta hektar di Merauke, Papua yang untuk sementara dipindahkan ke Kalimantan Timur karena masih minimnya infrastruktur di Merauke.
Pertanyaannya, benarkah saat ini dunia mengalami krisis pangan?
Sebagaimana data yang di rilis oleh FAO pada tanggal 7 Juni 2011, sekalipun terjadi penurunan produksi dibandingkan dengan tingkat konsumsi pangan dunia pada tahun 2010/2011, namun ketersediaan pangan masih mencukupi bahkan melebihi (surplus). Selanjutnya, perkiraan FAO terbaru untuk produksi pangan dunia pada tahun 2011 berdiri di hampir 2.313 juta ton, atau 3,3 persen lebih tinggi dari tahun 2010. Ini adalah 11 juta ton lebih tinggi dari perkiraan terakhir dalam prospek tanaman dan situasi pangan pada 22 Juni dan dua juta ton di bawah perkiraan yang diterbitkan dalam outlook makanan pada tanggal 7 Juni. Variasi ini terutama berasal dari dua revisi perkiraan panen berturut-turut di Amerika Serikat dalam hitungan minggu.
Berdasarkan indikasi terbaru, output gandum global diperkirakan akan mencapai 3,3 persen lebih tinggi dari tanaman tahun lalu, sebagian besar mencerminkan prospek peningkatan produksi dalam Commonwealth of Independent States-CIS (naik 24 persen dari 2010) dan India (naik 4 persen), lebih dari perimbangan penurunan di Amerika Serikat (turun 8 persen) dan di Uni Eropa (turun 2 persen). Produksi biji-bijian kasar dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 3,5 persen (atau 39 juta ton), ke tingkat yang melebihi rekor di tahun 2008. Di Amerika Serikat, produsen gandum terbesar di dunia, produksi gandum kasar kemungkinan akan melebihi tingkat 2010 setidaknya mencapai 6,5 persen (atau 22 juta ton), mendekati rekor 2007. Produksi yang lebih tinggi juga diantisipasi di CIS dan Uni Eropa. Produksi dunia padi diantisipasi untuk diperluas sebesar 2,7 persen pada 2011, ditopang oleh keuntungan di India (sampai 6 persen), serta beberapa negara lain, seperti Cina, Pakistan dan Brasil.
Pemanfaatan seral dunia dalam tahun 2011/12 diperkirakan tumbuh sebesar 1,4 persen dari 2010/11. Peningkatan diantisipasi terutama mencerminkan peningkatan dalam makanan dan pakan sementara tingkat kenaikan penggunaan industri sereal untuk biofuel dipandang melambat dibandingkan dengan musim sebelumnya.
Perkembangan keadaan pangan dunia hingga Juli 20011
World Cereal Market | ||||||
2007/08 | 2008/09 | 2009/10 | 2010/11 estimate | 2011/12 Forecast | ||
Previous (22 June 2011) | Current (07 July 2011) | |||||
(………………………………….million tonnes………………………………….) | ||||||
Production | 2,132.0 | 2,285.6 | 2,263.7 | 2,239.5 | 2,301.7 | 2,312.8 |
Supply² | 2,557.5 | 2,704.9 | 2,766.1 | 2,772.7 | 2,790.8 | 2,805.8 |
Utilization | 2,140.5 | 2,191.2 | 2,230.7 | 2,275.1 | 2,306.3 | 2,307.5 |
Trade³ | 271.9 | 282.6 | 276.2 | 277.0 | 275.9 | 276.0 |
Ending stocks⁴ | 419.3 | 502.4 | 533.2 | 493.0 | 486.2 | 498.9 |
(………………………………………percent……………………………………..) | ||||||
World stock-to-use ratio | 19.1 | 22.5 | 23.4 | 21.4 | 20.7 | 21.3 |
Major exporters’ stock-to-disappearance ratio⁵ | 14.0 | 18.0 | 18.6 | 15.2 | 15.0 | 15.2 |
Sumber : FAO, 7 Juni 2011 |
Demikian halnya dengan yang terjadi di Indonesia, pada 2009, konsumsi beras mencapai 32,54 juta ton dengan ketersediaan beras 36,45 juta ton, sehingga Indonesia surplus beras sebanyak 3,92 juta ton. Pada 2010, konsumsi beras mencapai 33,1 juta ton dengan ketersediaan beras 37,47 juta ton atau surplus 4,41 juta ton. Adapun tahun ini, konsumsi beras diproyeksikan 33,55 juta ton dengan ketersediaan beras 37,84 juta ton atau surplus sebanyak 4,29 juta ton.
Krisis Energi
Selain krisis pangan, krisis energi adalah salah satu krisis yang sedang melanda dunia internasional. Hal ini dikarenakan, tingkat pemakaian energi, baik untuk kebutuhan konsumsi industri dan non industri, terus mengalami peningkatan. Disatu sisi, cadangan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas, dan batubara, terus berkurang.
Data dari tahun 2005 memperlihatkan bahwa konsumsi global per tahun minyak bumi adalah 30 miliar barrel dibandingkan dengan temuan baru minyak bumi yang jumlahnya hanya 8 miliar barrel per tahun.[1] Sepuluh negeri terkaya di dunia ini mengkonsumsi hampir seluruh energi berbahan fosil dunia yang komposisinya terdiri dari minyak bumi (sekitar 35-38%), batu bara (23%) dan gas alam (21%), yang bahan bakunya kebanyakan dihasilkan dari tanah dan teritori negeri-negeri lain.[2] Sementara Amerikan Serikat, hingga saat ini tetap berada pada urutan pertama sebagai Negara dengan tingkat konsumsi minyak bumi tersebesar di dunia. Saat ini, AS mengkonsumsi sekitar 25% dari total persediaan minyak bumi dunia. Jika tingkat konsumsi minyak bumi AS ini tetap seperti ini, maka pada tahun 2025, AS akan mengkonsumsi 50% dari total persediaan minyak bumi dunia.[3]
Cadangan minyak bumi yang telah diketahui dari negeri-negeri penghasil minyak bumi utama, akhir tahun 2002
No. | Produsen utama minyak bumi (dalam urutan ranking) | Cadangan yang telah diketahui (miliar barrel) | Persentase dari total dunia |
1. | Arab Saudi | 261.8 | 25.0 |
2. | Irak | 112.5 | 10.7 |
3. | Uni Emirat Arab (UEA) | 97.8 | 9.3 |
4. | Kuwait | 96.5 | 9.2 |
5. | Iran | 89.7 | 8.5 |
6. | Venezuela | 77.8 | 7.4 |
7. | Federasi Rusia dan negeri-negeri Laut Kaspia | 77.1 | 7.4 |
8. | Amerika Serikat | 30.4 | 2.9 |
9. | Libya | 29.5 | 2.8 |
10. | Nigeria | 24.0 | 2.3 |
11. | China | 18.3 | 1.7 |
12. | Laut Utara (Norwegia, Inggris, Denmark) | 16.3 | 1.6 |
13. | Qatar | 15.2 | 1.5 |
14. | Mexico | 12.6 | 1.2 |
15. | Negeri-negeri lain | 90.2 | 8.6 |
Total Dunia | 1047.7 | 100.0 | |
Sumber: Michael Klare, Blood and Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us, 2004, hal. 19. |
Jika keadaannya terus seperti ini, maka diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[4]
Oleh karenanya, sebelum sumber minyak tersebut benar-benar habis, perang pendudukan dan perampasan sumber-sumber energi minyak bumi akan terus dilakukan oleh pimpinan imperialis dunia AS, untuk memastikan penguasaan mereka atas sumber-sumber energi minyak bumi dunia yang masih tersisa. Untuk menutupi motif ekonomi di dalam perampasan sumber-sumber minyak bumi yang masih tersisa ini, maka AS membungkusnya dengan kampanye global “perang melawan terorisme.”
Menghadapi situasi ini, negeri-negeri imperialis, secara gencar mengkampanyekan penggunaan bahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri imperialis utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
Setidaknya ada tujuh komoditas pertanian pangan yang dapat diubah menjadi bahan baku energi nabati, seperti tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak, kelapa sawit, dan singkong. Inilah yang dimaksudkan dengan bahan baku energi nabati atau bioenergi generasi pertama. Kaum imperialis juga sedang mengembangkan energi nabati generasi kedua (antara lain tanaman eucalyptus), untuk mengantisipasi kritik-kritik yang muncul terhadap ekspansi produksi untuk bahan bakar energi nabati generasi pertama melalui pertanian skala luas atau perkebunan (agrofuel), yang meluas dalam 10 tahun terakhir (2000-2010).
Bersembunyi di balik isu pemanasan global, melalui penandatanganan Protokol Kyoto yang berlaku hingga tahun 2012, negeri-negeri imperialis mengklaim telah melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon), dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati pada industry mereka. Sebaliknya mereka gencar memaksakan negeri-negeri di belahan bumi bagian selatan seperti Indonesia untuk gencar memproduksi energi nabati untuk kebutuhan industri mereka.
Energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara).
Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya. Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya.[5]
Dengan demikian, negeri-negeri imperialis tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya. Indonesia misalnya, di Kalimantan dan Papua, tanah yang digunakan adalah tanah gambut, selain tanah hutan. Bahkan banyak yang masih merupakan tanah hutan primer, langsung dibabat menjadi perkebunan biodiesel (kelapa sawit di Kalimantan dan Papua, Indonesia) dan perkebunan bioetanol (tebu di Amazon, Brazil). Sehingga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi semacam ini, dapat mereguk dua keuntungan sekaligus, yakni kayu gelondongan dan komoditas perkebunan yang harganya semakin mahal.
Catatan menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Target konsumsi energi Uni Eropa berdasarkan sumbernya hingga tahun 2020
Konsumsi biodiesel Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020 (Total = 27,5 miliar liter) | Persentase | Konsumsi etanol Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020 (Total = 27,5 miliar liter) | Persentase |
Minyak kelapa sawit Indonesia | 25% | Tebu Brazil | 44% |
Minyak kelapa sawit Malaysia | 23% | Gandum Uni Eropa | 35% |
Minyak lobak Uni Eropa | 22% | Jagung Uni Eropa | 8% |
Kedelai Argentina | 10% | Bit gula Uni Eropa | 5% |
Kedelai AS | 8% | Lain-lain | 8% |
Kedelai Brazil | 7% | ||
Lain-lain (termasuk tanaman jarak) | 5% | ||
Sumber : Tim Rice, “Meals per gallon: The Impact of industrial biofuels on people and global hunger,” Januari 2010, hal.35. |
[1] Lihat Gerardo Cerdas Vega, “Monocultures and agrofuels: key elements for debate,” dalam Red Sugar, Green Deserts, ibid., Desember 2009, hal. 51.
[2] Lihat Gerardo Cerdas Vega, “Monocultures and agrofuels: key elements for debate,” dalam Red Sugar, Green Deserts: Latin American report on monocultures and violations of the human rights to adequate food and housing, to water, to land and to territory. Editor Maria Silvia Emanuelli, Jennie Jonsen dan Sofia Monsalve Suarez. Heidelberg: FIAN International, Desember 2009, hal. 49-65.
[3] Lihat Michael Klare, Blood and Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us. London: Penguin Books, 2004, hal. 11.
[4] Lihat laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food and financial security,” Oktober 2008. http://www.grain.org/go/landgrab
[5] Lihat artikel Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia: Fuelling poverty, conflict, deforestation and climate change,” dalam buletin Seedling, Juli 2007, hal. 25- 33.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.