Perdebatan tentang kesahan dari proses divestasi saham 7% PT NNT oleh Pusat Investasi Pemerintah, hingga sekarang masih belum selesai. Pakar Hukum Perusahaan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Nindyo Pramono menilai divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) sebesar 7% oleh pemerintah pusat tidak melanggar aturan, karena termasuk investasi tidak langsung atau membeli dalam bentuk saham.
Dia mengatakan pemerintah memang boleh investasi tidak langsung dalam bentuk saham. Dasar rujukannya pada pasal 41 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menjelaskan pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi.
"Tujuan memperoleh manfaat ekonomi yang dimaksud dalam pasal 41 melalui PP no.1/2008 tersebut, ada berupa deviden, bunga, capital gain, peningkatan atau pertumbuhan dari nilai perusahaan itu, dan sebagainya,” ujarnya dalam Seminar Mengurangi Kewenangan DPR dalam divestasi saham PT NTT di Falkutas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) hari ini.
Menurutnya, berdasarkan kacamata hukum bisnis, pemerintah memiliki kewenangan karena jelas merupakan investasi tidak langsung. Hal tersebut merupakan kontrak logis dari kontrak karya sejak 1986 yang memang wajib dibeli pemerintah RI atau pihak yang ditunjuk sampai mencapai 51%.
“Pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) divestasi saham 7% NTT memang memiliki kewenangan, sehingga lanjut saja,” tuturnya.
Terkait perbedaan pandangan, lanjutnya, antara DPR dan BPK di satu pihak dengan Menteri Keuangan di pihak lain, penggunaan tolak ukur pasal yang berbeda yakni pasal 45 dan 46 UU no.1/2004 dinilai kurang tepat.
“Jika dianggap penyertaan modal harus ijin DPR karena dalam keadaan tertentu untuk mengamankan perekonomian, kondisinya pun bukan emergency situation, namun konsekuensi kontrak karya. Ini beli saham, bukan masuk penyertaan modal. Lebih tepat memakai pasal 41,” ujarnya.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap menegaskan bahwa pembelian 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) oleh pemerintah masuk dalam kategori penyertaan modal dalam keadaan tertentu dan menggunakan APBN yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
“Investasi pemerintah itu sesuai dengan undang-undang harus ijin DPR. Apakah investasi ke perusahaan swasta yang tertutup tidak perlu izin (DPR)? Untuk jelasnya anda bisa baca LHP (laporan hasil pemeriksaan) BPK yang telah kami serahkan ke DPR,” tegas Ketua BPK Hadi Purnomo di ruang kerjanya, siang ini.
Hadi menjelaskan BPK dalam melakukan audit sudah memerhatikan berbagai produk hukum yang menjadi dasar investasi pemerintah, yakni Undang-Undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kedua undang-undang tersebut merupakan serangkaian produk hukum yang saling berkaitan dan dipertegas oleh masing-masing aturan pelaksananya.
Gunaryanto, Kepala Biro Sekretariat Pimpinan BPK, mengingatkan pemerintah agar tidak keliru dalam memaknai investasi berupa pembelian saham dengan penyertaan modal. Pembelian saham hanya dimaksudkan untuk memperoleh kenaikan manfaat ekonomi, sedangkan penyertaan modal lebih luas, yang selain itu bertujuan untuk mendapatkan manfaat sosial dan lainnya.
“Sementara dalam surat Menteri Keuangan, yang disampaikan ke BPK, tidak hanya manfaat ekonomi, tetapi lebih dari itu. Itu hanya bisa dilakukan melalui penyertaan modal,” jelas dia.
Menteri Keuangan dalam suratnya kepada Ketua BPK No. S-344/MK.01/2011 tanggal 23 Juni menjelaskan tujuan pembelian 7% saham NNT melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) bukan hanya untuk memperoleh keuntungan melalui dividen, melainkan juga untuk menjaga kepentingan nasional.
Selain itu, untuk mendukung dan memastikan kepatuhan dari NNT dalam pembayaran pajak dan royalti, mewujudkan pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) dan bina lingkungan, peningkatan transparansi dan akutanbilitas, serta mendorong peningkatan penjualan konsentrat ke dalam negeri.
Surat Menkeu tersebut juga menunjukan bahwa NNT merupakan perusahaan tertutup yang akan didorong untuk menjadi perusahaan terbuka dengan masuknya pemerintah sebagai pemegang saham.
Berdasarkan penjelasan Menkeu tersebut, BPK dalam LHP berpendapat ada unsur upaya dominasi pemerintah dalam proses divestasi tersebut yang tidak sesuai dengan prinsip investasi atau mencari keuntungan.
Pembelian saham tersebut dianggap masuk dalam kategori penyertaan modal pemerintah, yang hanya bisa dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian negara. Untuk itu, pemerintah harus meminta persetujuan DPR terlebih dahulu.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.