Oleh : Mario Kulas
Indonesia ibaratnya telah menjadi Negara yang telah diperjualbelikan. Hal ini bisa dilihat dari dominasi asing semakin luas menguasai sektor-sektor perekonomian strategis di Indonesia. Misalnya untuk sektor perbankan, per Juni 2008 kepemilikan asing mencapai 47,02 % dari total aset perbankan di Indonesia. Namun hingga Maret 2011, jumlah tersebut semakin meningkat hingga 50,5%. Dengan demikian, dari total aset perbankan yang mencapai Rp 3.065 triliun, sekitar Rp 1.551 triliun yang dikuasai asing. Dari 121 bank umum yang ada di Indonesia, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi. Dan dari 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen, sebagian sudah dimiliki asing.
Dan dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing. Hal itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. (Kompas, 24/5/2011)
Demikian halnya disektor perkebunan. Misalnya perkebunan sawit yang menguasai jumlah lahan terbesar dari perkebunan lainnya di Indonesia. Hingga tahun 2002, terdapat 27 kelompok usaha perkebunan kelapa sawit yang memegang konsesi kelapa sawit seluas total area 4,6 juta hektar. Jumlah ini merupakan 60% dari total area konsesi yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2002. Secara keseluruhan, kelompok usaha ini telah menanam pada area sekitar 1,8 juta hektar, yang merupakan 60% dari total area tanam di Indonesia pada tahun 2002 itu dengan total produksi CPO tahunan sekitar kurang lebih 5,9 juta ton, yang merupakan 65% dari total produksi CPO Indonesia pada tahun 2002.[1]
Dari total area konsesi perkebunan pada tahun 2002, yang dikuasai oleh negara Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara yakni PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya sekitar 770.000 dari total area konsesi keseluruhan sekitar 4,6 juta hektar. Sisanya, yakni sekitar 3,8 juta hektar dikuasai oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS). Di sisi lain, berdasarkan data pada tahun 2008, ada sedikitnya 10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya. Dari 6,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008, sebanyak 2,7 juta hektar milik rakyat.[2]
Investasi terus masuk, tanah rakyat terus dirampas, kehidupan rakyat semakin terpuruk.
Mengapa kita harus menerima investasi? Jawaban yang selalu diberikan, hanya dengan investasi bisa mensehjterakan rakyat dengan menyerap lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Pada kenyataannya, Menurut data BPS Hingga Maret 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 30,02 juta orang atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia. Celakanya lagi, dalam menghitung jumlah penduduk miskin, pemerintah hanya menghitung berdasarkan pemenuhan kebutuhan makan semata dengan nilai Rp 230 ribu/orang dalam satu bulan, atau kurang dari Rp 9.000 rupiah per harinya.
Demikian halnya dengan tingkat pengangguran yang masih sangat tinggi. Berdasarkan data BPS, hingga Februari 2011, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,1 juta orang atau 6,80% dari total dari total angkatan kerja sebesar 119,4 juta orang. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan BPS, yang bekerja di sektor formal hanya sebanyak sekitar 34,24 %, sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai 65,76 %. Maka jumlah pengangguran di Indonesia bisa saja lebih dari 8,1 juta orang karena yang bekerja di sektor informal jauh lebih besar, yang bisa kapan-kapan saja kehilangan pekerjaannya.
Isu krisis pangan, krisis global, dan krisis finansial sepertinya telah menjadi motor penggerak dari semakin gencarnya investasi skala besar di Indonesia dengan karakter “lapar lahan”. Untuk mengatasi krisis energi, Indonesia melancarkan kampanye membuat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia seluas 1,8 juta hektar di perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project), yang dikampanyekan oleh pemerintah pada tahun 2005. Melalui pernyataan Menteri Pertanian Republik Indonesia Anton Apriantono pada bulan Juni 2005 disebutkan bahwa proyek kebun sawit terbesar di seluruh dunia ini, akan dimaksudkan untuk menghasilkan energi nabati untuk konsumsi domestik dan ekspor.[3]
Dari data yang berhasil dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, dalam periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar (PBS) untuk 7 komoditas (sawit, karet, kakao, teh, tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk lebih dari 7 komoditas di luar Rajawali, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar. Bila dipersentasekan, kepemilikan swasta besar dalam sektor perkebunan Indonesia adalah sebesar 92,5% untuk periode 2004-2010.
Demikian halnya dengan investasi di sektor pertanian pangan. Misalnya saja proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang pada intinya bagaimana menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang akan menggunakan lahan seluas 2,823 juta hektar. Investor utama dari rencana ini adalah kelompok usaha BinLaden dari Arab Saudi yang pada bulan Agustus 2008 mentargetkan tanah Merauke untuk produksi beras basmati yang kemudian akan diekspor kembali ke Arab Saudi, dalam rangka program ketahanan pangan negeri padang pasir itu. Belakangan dengan alasan masih minimnya infrastruktur di Merauke, untuk sementara proyek ini dipindahkan ke Kalimantan Timur dengan luas lahan lebih dari 600 ribu hektar.
Semakin gencarnya tingkat perampasan tanah dalam skala besar dengan alasan investasi di berbagai sektor, telah menyebabkan semakin minimnya tingkat penguasaan kaum tani yang terus berdampak pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat Indonesia. Hingga saat ini rata-rata penguasaan tanah kaum tani di Indonesia hanya 0,3 hektar per rumah tangga pertanian, disatu sisi jumlah angkatan kerja di sektor pertanian terus mengalami peningkatan. Direktur Analisis dan Perkembangan Statistik BPS, Kecuk Suharyanto mengatakan jumlah kemiskinan terbesar sebanyak 72% berasal dari masyarakat yang hidup dari sektor pertanian (mediaindonesia.com, 3/9/2011).
Kenyataan yang tragis juga di tunjukkan oleh sektor pertambangan yang belum mampu meningkatkan taraf hidup rakyat, bahkan di lokasi tambang itu sendiri. Misalnya, Provinsi Riau yang menyumbang lebih dari 50 persen total produksi dan devisa minyak bumi, namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% , di Aceh mencapai 20,98 %, dan di Nusa Tenggara Barat (NTB), 21,55%.
Liberalisasi Yang Semakin Kalap.
Bagaikan orang yang kalap, bukannya menghentikan dan merevisi kepemilikan asing pada berbagai sektor strategis di Indonesia, proses liberalisasi justeru semakin gencar dilancarkan di Indonesia. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan tax holiday yang diberikan paling lama 10 tahun. Kebijakan ini diperuntukkan agar mampun menarik investasi sebesar-besarnya ke Indonesia.
Adapun WP yang dikatakan dapat menerima fasilitas penangguhan pajak ini adalah WP yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Merupakan industri pionir, yaitu : Industri logam dasar, pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar yang bersumber dari minya bumi dan gas alam, permesinan, bidang suberdaya terbarukan dan peralatan telekomonikasi.
- Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi berwenang, dan paling sedikit sebesar Rp1 triliun.
- Menempatkan dana di perbankan Indonesia, paling sedikit 10 persen dari rencana total penanaman modal dan tidak boleh ditarik sebelum dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal.
- Berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya paling lama 12 bulan.
Tentu hal ini akan semakin memperpanjang dan memperparah tingkat penguasaan asing atas perekonomian Indonesia.
Demikian halnya dengan program mengatasi krisis pangan dunia, untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah juga menerapkan bea masuk untuk bahan baku tepung beras, kentang, susu, dan cokelat yang lebih rendah dibandingkan bea masuk produk hilir. Tentu kebijakan ini akan sangat berdampak pada matinya pertanian dan peternakan skala kecil milik rakyat Indonesia. Seharusnya, pemerintah lebih mendorong peningkatan produksi nasional untuk pemenuhan kebutuhan nasional.
Selain itu, pemerintah juga menjalankan program hilirisasi industri yang ditujukan agar industri hulu tidak lagi hanya memproduksi bahan mentah dan mengekspornya, tetapi juga bagaimana mengolahnya. Hal ini dimaksudkan agar bisa membuka lapangan pekerjaan yang semakin luas dan bisa meningkatan pendapatan Negara.
Namun dengan kebijakan tax holiday serta berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah, tidak akan memberikan kedaulatan bangsa Indonesia atas kekayaan alam yang dimilikinya. Selain itu, yang menjadi perntanyaan, untuk apa orientasi produksinya, apakah untuk memenuhi kebutuhan nasional atau tetap untuk di eksport? Hal ini penting diatur secara tegas, karena jika tidak, keberadaan industri hilir tersebut tetap tidak akan mampu menjawab persoalan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Demikian halnya dengan politik pengupahan yang ditetapkan. Selama ini, karakter investasi di Indonesia, selain lapar lahan juga selalu dijalankan dengan politik upah murah. Politik upah murah selalu menjadi daya tarik utama bagi kegiatan investasi di Indonesia karena mampu menekan biaya produksi serendah mungkin. Jika demikian, sekalipun mampu membangun industri hilir, akan tetapi kualitas kehidupan rakyat Indonesia, khususnya kaum buruh, tidak akan meningkat. Dengan demikian, Indonesia selamanya akan selalu menjadi negeri yang menjadi sumber bahan mentah murah, tenaga kerja murah, serta pasar yang luas bagi hasil produksi industri asing. Maka kehidupan rakyat Indonesia tidak akan meningkat, sebaliknya akan semakin terpuruk.
[1] Aliansi Gerakan Reforma Agraria, “Perampasan Tanah Sebab, Bentuk dan Akibatnya bagi Kaum Tani”, September 2010.
[2] Lihat “Bea Keluar CPO Rp 9 Triliun: Dampak Langsung Belum Sentuh Petani Kelapa Sawit,” dalam harian umum Kompas, 22 Februari 2008.
[3] Eric Wakker, “The Kalimantan Border Palm Oil Mega-project,” laporan yang dibuat untuk Friends of the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006.
2 komentar:
hemmmmmmmm.mntap lah
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.. ;)
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.