Sepanjang Agustus 2011, tercatat dua kali aktivitas perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) terkena guncangan ‘tsunami’. Pertama, ketika lembaga rating papan atas dunia Standart & Poor’s (S&P) menurunkan rating AS dari AAA menjadi AA+. Keberanian S&P itu langsung merontokkan indeks bursa saham seluruh dunia, termasuk BEI. Rata-rata indeks regional terkoreksi di atas empat persen. BEI sendiri usai pengumuman S&P itu dipublikasikan, terpangkas dari posisi 4.122,09 menjadi 3.735,12 dalam waktu tiga hari bursa atau sebesar 9,39 persen.
Kedua, yang tidak kalah dasyatnya adalah publikasi riset dari Morgan Stanley, sebuah perusahaan invesment banking. Morgan Stanley menurunkan prediksi bahwa ekonomi dunia bakal masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia yang semula diprediksi tumbuh 4,2 persen tahun ini direvisi menjadi hanya 3,9 persen. Ini akibat kondisi ekonomi di AS dan Eropa mengalami demam. Banyak ekonomi negara dunia yang nasibnya ditentukan oleh kondisi ekonomi di dua wilayah tersebut.
Prediksi turunnya pertumbuhan ekonomi dunia itu menggoyang Wall Street, dan bursa-bursa dunia lain. Pada perdagangan Kamis (18/8/2011), indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup anjlok 419,63 poin (3,68 persen) ke level 10.990,58. Indeks S&P 500 melemah 53,24 poin (4,46 persen) ke level 1.140,65 dan Nasdaq terkoreksi 131,05 poin (5,22 persen) ke level 2.380,43.
Saham-saham unggulan di Dow Jones yang harganya rontok diantaranya IBM yang terpotong sebesar 4,5 persen menjadi USD163,83, dan United Technologies merosot 5,5 persen menjadi US68,12. Saham-saham sektor perbankan juga berjatuhan, saham Bank of America merosot hingga enam persen, Citigroup merosot 6,3 persen. Di Nasdaq, saham Oracle terpangkas hingga 8,3 persen menjadi USD2519, saham Hewlett-Packard Co juga merosot hingga 6,1 persen setelah merilis laporan keuangannya.
Khusus Indonesia, lembaga ini menghitung pertumbuhannya tidak akan sebesar yang diperhitungkan semula. Morgan Stanley yang dikutip banyak media menyebut pasar modal Indonesia hanya akan tumbuh satu persen sampai akhir tahun 2011 nanti. Padahal sebelumnya Morgan Stanley memprediksi pasar modal Indonesia bisa tumbuh 13 persen tahun ini. Jika IHSG tumbuh 13 persen, berarti akan mencapai 4.185. Sementara, dengan revisi pertumbuhan IHSG hanya satu persen dari posisi 16 Agustus, berarti sampai akhir tahun 2011 ini, indeks hanya bergerak hingga 3.993.
Revisi terhadap prediksi ini kontan saja merontokkan nyali investor. Investor terutama asing berbondong-bondong menjejali pasar dengan order jual. Diikuti investor lokal. Akibatnya, pada transaksi Jum’at (19/8) indeks BEI terpangkas 178,246 poin (4,44 persen) ke level 3.842,748. Sementara Indeks LQ 45 jatuh 36,143 poin (5,06 persen) ke level 679,195. Pada hari itu, investor asing tercatat nett sell Rp 1,7 triliun.
Dari uraian di atas, satu kata kunci yang memberikan kontribusi terhadap anjloknya indeks bursa-bursa dunia atau regional, termasuk BEI adalah hasil riset. Pada kasus yang pertama, anjloknya indeks saham dipicu oleh publikasi hasil riset S&P terhadap tingkat risiko surat utang di AS. Pada kasus kedua, merosotnya indeks bursa dunia dipicu oleh publikasi hasil riset yang diterbitkan Morgan Stanley.
Dari sini bisa dilihat betapa kuatnya pengaruh dari hasil riset yang dipublikasi dua lembaga tadi. Ada berapa miliar dolar AS kekayaan (kapitalisasi pasar) bursa-bursa dunia yang menguap begitu saja akibat publikasi hasil riset tersebut.
Meskipun pemerintah AS naik pitam terhadap hasil riset yang dipublikasi S&P dan menyebabkan chairman S&P mengundurkan diri – toh hasil riset itu tidak bisa diganggu gugat. S&P tetap pada pendiriannya bahwa hasil rating terhadap peringkat AS itu merupakan hasil kerja profesional.
Sebagai pelaku ataupun otoritas keuangan yang obyektif, semestinya semua pihak menghargai hasil riset yang diterbitkan dan dipublikasi oleh lembaga riset atau lembaga rating. Hasil riset adalah sebuah karya yang dibuat dengan sebuah metodologi yang tidak sederhana. Ia bisa dipertanggungjawabkan kebenarnya, paling tidak berdasarkan metodologi dan asumsi yang dipergunakan.
Jika ada pihak atau pelaku pasar yang tidak percaya, memberikan sanggahan dan karenanya tidak peduli dengan hasil sebuah riset adalah satu sikap yang sah. Tapi, akan lebih baik jika sanggahan seperti itu dilengkapi dengan penjelasan yang obyektif, argumentatif atau dengan hasil riset tandingan yang menggunakan metodologi berbeda dan asumsi yang berbeda. Soal mana yang lebih dipercaya publik, serahkan pada publik untuk menilainya. Sayangnya belum ada lembaga riset di dalam negeri yang memberikan hasil riset tandingan untuk melawan pesimisme yang ditebar Morgan Stanley.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.