Jakarta, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, sebanyak 14 perusahaan asing di sektor minyak dan gas tidak pernah membayar pajak selama bertahun-tahun. Akibatnya, negara dirugikan hingga lebih dari Rp 1,6 triliun.
”Ada perusahaan yang tidak membayar pajak dari tahun 1991. Bahkan, ada beberapa perusahaan yang tak membayar pajak selama lima kali menteri keuangan,” kata Haryono Umar, Wakil Ketua KPK, di Jakarta, Kamis (14/7/2011). Haryono tidak menyebut ke-14 perusahaan itu. ”Nama-nama perusahaannya ada di Direktorat Jenderal Pajak,” ujarnya.
Haryono menjelaskan, dari data Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), pajak yang tidak dibayarkan tersebut sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, potensi kerugian keuangan negara lebih besar karena data baru mengacu pada catatan BP Migas.
Menurut Haryono, KPK mendorong Direktorat Jenderal Pajak agar pajak tersebut segera ditagih. ”Kami minta agar pajak itu segera ditagih. Harus segera kirim surat tagihan agar pajak itu dibayar,” ujar Haryono.
Haryono khawatir ada ulah penyelenggara negara yang nakal terkait dengan tidak dibayarnya pajak oleh perusahaan asing itu. Oleh karena itu, menurut Haryono, KPK akan mendalami mengapa perusahaan-perusahaan tersebut dibiarkan lama tidak membayar pajak.
“Masalahnya adalah pajak itu kedaluwarsa kalau 10 tahun tidak ditagih. Nah, KPK akan mendalami apakah ada kesengajaan untuk membuat pajak itu kedaluwarsa,” katanya.
Unsur pimpinan KPK bidang pencegahan itu menyatakan, pihaknya tengah mencari pihak yang bertanggung jawab atas tidak tertagihnya pajak tersebut. “Ini disengaja atau tidak. Kalau sengaja tidak ditagih, siapa yang bikin in I,” ujar Haryono.
KPK telah berkoordinasi dengan BP Migas, Direktorat Jendral Pajak, dan Direktorat Jenderal Anggaran untuk membahas permasalahan pajak di belasan perusahaan asing itu. Koordinasi dilakukan dalam pertemuan hari Rabu lalu.
Haryono menjelaskan, salah satu alasan perusahaan migas asing tak membayarkan pajaknya adalah adanya perbedaan pendapat dengan pemerintah mengenai perhitungan nilai pajak. “Karena berbeda pendapat soal jumlah, mungkin karena aturan, karena masalah kontrak,” ujarnya.
Secara terpisah, kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana menyatakan, tunggakan pajak yang dimaksud KPK itu adalah soal pajak perseroan serta pajak atas bunga, dividen, dan royalty. Hal ini mengacu pada paparan BP Migas kepada KPK, Rabu lalu.
Dari 14 kontraktor kontrak kerja sama (KKS) migas yang dinyatakan belum membayar pajak itu, saat ini 11 kontraktor migas dinyatakan sudah melunasi pembayaran pajak terkait. Jadi, masalah tunggakan pajak untuk 11 perusahaan asing migas dianggap selesai. “Adapun tiga sisanya dalam proses penyelesaian, baik di pengadilan pajak maupun di Kementrian Keuangan,” kata Gde.
Untuk meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan di sector hulu migas, menurut Gde, badan pelaksana itu akan membuat nota kesephaman dengan KPK. “Jaddi, nota kesepahaman ini secara makro, bisa saja dalam pelaksanaannya menyangkut audit keuangan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Asosiasi perminyakan Indonesia Sammy Hamzah mengakui, ada beberapa anggota asosiasi perminyakan atau kontraktor minyak berbeda pendapat dengan kantor pajak. “Saya yakin bahwa ini bukan karena kelalaian, mungkin memang ada perbedaan persepsi, “ katanya.
Untuk memastikan hal itu, kata Sammy, pihaknya akan segera mengecek persoalan tunggakan pajak tersebut di internal organisasi dan untuk mengetahui perusahaan-perusahaan yang memiliki masalah pajak. “Kasus pajak antarperusahaan itu tentu berbeda-beda. Kemungkinan bukan berkaitan dengan pajak selama kegiatan eksplorasi, melainkan pajak yang dikenakan pada kontraktor minyak yang berproduksi,” ujarnya.
Secara terpisah, anggota Komisi VII DPR, yang juga anggota Badan Anggaran DPR, Satya W Yudha, menyatakan, pihak BP Migas harus segera melakukan verifikasi soal perhitungan tersebut. Itu karena badan pelaksana tersebut punya tenaga ahli yang dapat menghitung pajak dalam kontrak bagi hasil produksi. “Kami minta BP Migas segera usut tuntas hal ini,” katanya.
Selain itu, KPK juga diminta memanfaatkan jasa konsultan yang paham penghitungan pajak dalam kontrak bagi hasil produksi (PSC). “Jangan samapia pagi-pagi dianggap menggelapkan uang Negara, padahal KKKS masih dalam tahap eksplorasi migas, belum berproduksi secara komersial, “ujar Satya.
Dalam PSC disebutkan, pajak baru dibayarkan setelah kegiatan eksplorasi selesai atau secara komersial dinyatakan berproduksi. Jadi enam tahun pertama masa eksplorasi, kontraktor tidak dikenai pajak. Perusahaan migas itu baru dikenai pajak begitu eksplorasi berhasil dan bisa beroperasi secara komersial.
Namun, diakui, aturan pajak dalam kontrak itu berbeda dengan peraturan pemerintah (PP) tentang cost recovery (biaya operasi yang bisa ditagihkan ke negara) yang baru diterbitkan pemerintah. Dalam aturan itu, kontraktor harus membayar pajak mulai dari eksplorasi. Hal ini menjadi salah satu alsan asosiasi perminyakan mengajukanm uji materi atas PP itu. (RAY/EVY).
Sumber :
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.