Pemerintah menyatakan siap melakukan negosiasi ulang (renegosiasi) kontrak penjualan gas alam cair (LNG) dari Blok Tangguh ke Fujian, China, agar lebih transparan dan adil bagi kedua belah pihak. Pemerintah menginginkan perubahan formula harga jual gas dari blok itu, mengikuti harga LNG di pasar internasional dan mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa juga menyatakan kesiapannya melaksanakan renegosiasi kontrak penjualan gas alam cair dari Blok Tangguh ke Fujian, China. Proyek Tangguh. Sebagian sahamnya dimiliki BP Indonesia sebagai operator. Proyek yang menelan biaya sekitar 3,4 miliar dollar AS (Rp 29 triliun) itu diperkirakan menyumbang penerimaan negara 6,2 miliar dollar AS (Rp 54 triliun) selama 20 tahun. Hal itu sesuai kontrak penjualan gas 7,65 juta ton per tahun selama 20 tahun yang ditandatangani BP Indonesia dengan sejumlah pembeli.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa juga menyatakan kesiapannya melaksanakan renegosiasi kontrak penjualan gas alam cair dari Blok Tangguh ke Fujian, China. Proyek Tangguh. Sebagian sahamnya dimiliki BP Indonesia sebagai operator. Proyek yang menelan biaya sekitar 3,4 miliar dollar AS (Rp 29 triliun) itu diperkirakan menyumbang penerimaan negara 6,2 miliar dollar AS (Rp 54 triliun) selama 20 tahun. Hal itu sesuai kontrak penjualan gas 7,65 juta ton per tahun selama 20 tahun yang ditandatangani BP Indonesia dengan sejumlah pembeli.
Proyek LNG Tangguh sudah memperoleh komitmen pasar dari Provinsi Fujian, China, sebanyak 2,6 juta ton per tahun, Posco Korea Selatan 0,55 juta ton per tahun, K Power 0,6 juta ton per tahun, dan Sempra Energy LNG Corp AS 3,7 juta ton per tahun. (Harian Kompas, 17 September 2011).
Kebijakan ini jelas mencerminkan politik pemanfaatan sumber daya energi yang tidak berorientasi pada kepentingan nasional yang akan berdampak lanjut pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat.
Sekalipun saat ini harga minyak internasional sedang mengalami penurunan, namun pada umumnya trend harga bahan bakar minyak selalu didominasi dengan kenaikan. Hal ini dikarenakan sebagaian besar aktifitas produksi dan konsumsi energi dunia, masih didominasi oleh bahan bakar minyak.
Dari keadaan ini, maka sudah seharusnya industri di Indonesia tidak lagi menyadarkan aktifitas produksinya pada penggunaan bahan bakar minyak, melainkan beralih ke bahan bakar seperti gas dan batubara. Namun sayang, persoalannya adalah produksi bahan bakar gas dan batubara tidak diperuntukkan bagi industri dalam negeri sehingga berdampak pada semakin tinggi beban biaya produksi yang harus ditanggung oleh industri dalam negeri. Jika sudah demikian, maka pelaku industri dalam negeri akan mengambil langkah-langkah rasionalisasi yang semakin menambah penderitaan rakyat, seperti menaikan harga hasil produksi, melakukan PHK dan menambah jam kerja buruh, dan sebagainya. Yang paling ektrim adalah, industry tersebut bangkrut dan kemudian diakusisi oleh perusahaan asing.
Ambil contoh ketika terjadi krisis listrik pada bulan pertengahan tahun 2010 lalu yang diakhiri dengan keputusan pemerintahan menaikan TDL. Salah satu persoalan utama yang dialami oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah kurangnya ketersediaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebelumnya, PLN telah diminta untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar produksi listrik agar mengurangi beban biaya produksi yang dikarenakan oleh mahalnya harga bahan bakar minyak. Namun sayang, gas justeru diprioritaskan untuk penyedotan minyak mentah (lifting), termasuk pada sumur minyak yang sudah tua dengan tujuan agar produksi minyak meningkat. Akibatnya, saat itu PLN dan IPP kekurangan pasokan gas di bawah kontrak sekitar 340 MMSCFD. Kondisi ini membuat PT PLN kehilangan listrik sekitar 6.000 MW atau setara dengan tenaga listrik untuk sekitar 6.600 konsumen rumah tangga katagori 900 KVA. Di sisi industri, mereka kekurangan pasokan gas sekitar 350 MMSCFD. Ini merupakan kebutuhan gas dari sekitar 650 industri.
Demikian halnya dengan batubara yang saat itu kapasitas produksinya mencapai 230 juta ton, dari jumlah tersebut, yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik hanya sebesar 68,5 juta ton dan sekitar 45-46 juta ton diantaranya dialokasikan untuk kebutuhan pembangkit listrik.
Per tanggal 12 April 2012, pemerintah kembali akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10%. Kenaikan TDL tersebut, dipicu oleh kenaikan harga minyak di pasar internasional yang berdampak pada membengkaknya rasio subsidi listrik yang ditanggung pemerintah, disatu sisi tingkat pemakaian listrik terus mengalami peningkatan.
Pertanyaannya, mengapa kebijakan produksi energi dalam negeri tidak digunakan untuk memenuhii kebutuhan energi dalam negeri, termasuk untuk bahan bakar pembangkit listrik?
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.