Hari ini inilah.com memaparkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kinerja keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dinilai gagal dalam melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp 17,90 triliun pada tahun 2009 dan Rp 19,70 triliun pada tahun 2010. Menurut BPK, PLN belum bekerja secara optimal. Penghematan biaya bahan bakar gagal dilaksanakan akibat tidak dapat memenuhi kebutuhan gas untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan PLN.
Selain itu, PLN juga dinilai tidak mengoperasikan dan memelihara beberapa pembangkit sesuai dengan ketentuan teknis dan prinsip efisiensi. Salah satunya terlihat dari penggunaan bahan bakar high speed diesel pada pembangkit yang berbasis dual firing. Dengan demikian mengakibatkan biaya pemeliharaan pembangkit lebih tinggi sebesar Rp 104,63 miliar pada tahun 2009 dan Rp 3,61 miliar pada tahun 2010 dibandingkan biaya pemeliharaan pembangkit bila dioperasikan dengan bahan bakar gas. Ini disebabkan PLN mengalami keterbatasn pasokan gas.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan, menduga hal tersebut disebabkan oleh pengurangan jatah gas bagi PLN hingga lebih dari Rp 10 triliun serta terlambatnya realisasi proyek listrik 10 ribu megawatt menjadi penyebab PT PLN merugi terus.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya diorientasi pemanfaatkan sumber daya energi di Indonesia yang tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk dalam hal penyediaan listrik.
Penggunaan bahan bakar minyak selalu menjadi alasan pembengkakan biaya produksi industri, termasuk dalam hal penyediaan listrik. Sekalipun saat ini harga minyak internasional sedang mengalami penurunan, namun pada umumnya trend harga bahan bakar minyak selalu didominasi dengan kenaikan. Hal ini dikarenakan sebagaian besar aktifitas produksi dan konsumsi energi dunia, masih didominasi oleh bahan bakar minyak. Dari keadaan ini, maka sudah seharusnya industri di Indonesia tidak lagi menyadarkan aktifitas produksinya pada penggunaan bahan bakar minyak, melainkan beralih ke bahan bakar seperti gas dan batubara.
Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan beberapa peraturan pelaksanaan UU tersebut, salah satunya adalah Peraturan Menteri ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Pada Pasal 6 ayat (3) tertulis : "Penetapan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi dilaksanakan dengan prioritas pemanfaatan gas bumi untuk : (a) peningkatan produksi minyak dan gas bumi; (b) industri pupuk; (c) penyediaan tenaga listrik; (d) industri lainnya.”
Namun sangat disayangkan, pada kenyataannya orientasi produksi gas tidak diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri. Misalnya saja terkait dengan negoisasi ulang (renegoisasi) kontrak penjualan gas alam cair (LNG) dari Blok Tangguh. Pemerintah menyatakan siap melakukan negosiasi ulang (renegosiasi) kontrak penjualan gas alam cair (LNG) dari Blok Tangguh ke Fujian, China, agar lebih transparan dan adil bagi kedua belah pihak.
Sebagian saham Blok Tangguh dimiliki BP Indonesia sebagai operator. Proyek yang menelan biaya sekitar 3,4 miliar dollar AS (Rp 29 triliun) itu diperkirakan menyumbang penerimaan negara 6,2 miliar dollar AS (Rp 54 triliun) selama 20 tahun. Hal itu sesuai kontrak penjualan gas 7,65 juta ton per tahun selama 20 tahun yang ditandatangani BP Indonesia dengan sejumlah pembeli. Proyek LNG Tangguh sudah memperoleh komitmen pasar dari Provinsi Fujian, China, sebanyak 2,6 juta ton per tahun, Posco Korea Selatan 0,55 juta ton per tahun, K Power 0,6 juta ton per tahun, dan Sempra Energy LNG Corp AS 3,7 juta ton per tahun. (Harian Kompas, 17 September 2011).
Akibat kurangnya penyediaan gas bagi PLN dalam penyediaan listrik, telah berdampak pada pembengkakkan biaya produksi. Dan pembengkakan biaya produksi PLN selalu menjadi alasan utama bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Dan benar saja, pemerintah kembali berencana menaikan TDL per 1 April 2012.
Kenaikan TDL selanjutnya selalu berdampak pada semakin tinggi beban biaya produksi yang harus ditanggung oleh industri dalam negeri. Jika sudah demikian, maka pelaku industri dalam negeri akan mengambil langkah-langkah rasionalisasi yang semakin menambah penderitaan rakyat, seperti menaikan harga hasil produksi, melakukan PHK dan menambah jam kerja buruh, dan sebagainya. Bahkan yang paling ekstrim adalah, industri dalam negeri terancam bangkrut yang semakin meneguhkan dominasi industri asing dan menjadikan Indonesia sebagai pasar yang luas bagi hasil produksinya.
Keadaan yang sama juga terjadi pada pertengahan tahun 2010 lalu, yang mana sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya diluar Pulau Jawa mengalami krisis hingga beberapa bulan. “Drama jaman kegelapan” tersebut baru berakhir setelah pemerintahan menaikan TDL.
Salah satu persoalan utama yang dialami oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah kurangnya ketersediaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebelumnya, PLN telah diminta untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar produksi listrik agar mengurangi beban biaya produksi yang dikarenakan oleh mahalnya harga bahan bakar minyak. Namun sayang, gas justeru diprioritaskan untuk penyedotan minyak mentah (lifting), termasuk pada sumur minyak yang sudah tua dengan tujuan agar produksi minyak meningkat. Akibatnya, saat itu PLN dan IPP kekurangan pasokan gas di bawah kontrak sekitar 340 MMSCFD. Kondisi ini membuat PT PLN kehilangan listrik sekitar 6.000 MW atau setara dengan tenaga listrik untuk sekitar 6.600 konsumen rumah tangga katagori 900 KVA. Di sisi industri, mereka kekurangan pasokan gas sekitar 350 MMSCFD. Ini merupakan kebutuhan gas dari sekitar 650 industri.
Demikian halnya dengan batubara yang saat itu kapasitas produksinya mencapai 230 juta ton, dari jumlah tersebut, yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik hanya sebesar 68,5 juta ton dan sekitar 45-46 juta ton diantaranya dialokasikan untuk kebutuhan pembangkit listrik.
Per tanggal 12 April 2012, pemerintah kembali akan menaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10%. Kenaikan TDL tersebut, dipicu oleh kenaikan harga minyak di pasar internasional yang berdampak pada membengkaknya rasio subsidi listrik yang ditanggung pemerintah, disatu sisi tingkat pemakaian listrik terus mengalami peningkatan.
Jika sudah demikian, lalu siapa yang salah, PLN atau politik kebijakan energi dari pemerintah yang tidak diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negeri?
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.