Proses renegosiasi kontrak karya (KK) pertambangan dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) terus berlanjut. Tercatat enam isu strategis yang dipersoalkan dalam renegosiasi kontrak pertambangan tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Thamrin Sihite, menyampaikan hal itu dalam paparan tertulisnya yang dibacakan Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot, dalam seminar yang diprakarsai Indonesian Resources Studies (IRESS), Kamis (29/9/2011), di gedung MPR/DPR, Jakarta.
Renegosiasi KK dan PKP2B sampai triwulan kedua 2011 menghasilkan kesepakatan dalam kategori secara prinsip setuju seluruhnya, setuju sebagian, dan belum setuju seluruhnya. Untuk KK mineral, secara prinsip seluruhnya sebanyak 9 kontrak, setuju sebagian 23 kontrak, belum setuju seluruhnya tercatat 5 kontrak. Untuk PKP2B, setuju seluruhnya 62 kontrak dan setuju sebagian 14 kontrak.
Bambang Gatot menjelaskan, ketentuan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 menjadi dasar hukum yang kuat bagi pemerintah guna mendorong perusahaan mencapai hasil renegosiasi KK dan PKP2B. Hasil kesepakatan dalam renegosiasi kontrak itu diharapkan memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional, untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
"Ada enam isu strategis yang dibahas dalam renegosiasi kontrak pertambangan yakni, luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri," kata Bambang.
Terkait luas wilayah kerja, misalnya, badan usaha ingin mempertahankan luas wilayah sesuai kontrak. Sedangkan pemerintah akan memberi persetujuan luas wilayah, berdasarkan hasil kajian rencana kerja jangka panjang badan usaha dari aspek teknis, ekonomi dan hukum.
Perihal perpanjangan kontrak, badan usaha meminta perpanjangan jangka waktu usaha dalam bentuk izin usaha pertambangan diberikan pemerintah pusat. Sementara pemerintah berpandangan, perpanjangan jangka waktu usaha dalam bentuk IUP diberikan pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dan ada revisi PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Mengenai royalti, pemerintah konsisten bahwa ketentuan royalti mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, sedangkan badan usaha menghendaki kewajiban pembayaran royalti tetap mengacu apda ketentuan kontrak yang ada. "Pemerintah akan menetapkan sepenuhnya ketentuan PP 45 Tahun 2003 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen ESDM terhadap setiap badan usaha," katanya.
Dalam isu kewajiban pengolahan dan pemurnian, badan usaha menganggap batas waktu 2014 tidak cukup untuk mempersiapkan pembangunan unit pengolahan dan pemurnian. Di sisi lain, pemerintah akan menetapkan kebijakan berdasarkan hasil kajian aspek teknis, ekonomi dan hukum atas kewajiban. Penerbitan Peraturan Menteri ESDM tentang peningkatan nilai tambah mineral dan batubara sebagai dasar kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Mengenai kewajiban divestasi, setiap badan usaha dapat menerima ketentuan divestasi dengan catatan, KK atau PKP2B yang sudah di atas 20 persen milik nasional tidak perlu divestasi lagi, dan KK/PKP2B yang sudah 51 persen kepemilikan nasional tidak boleh berkurang. Sementara pemerintah dalam posisi menerapkan sepenuhnya ketentuan divestasi sesuai Undang Undang. "Kewajiban divestasi bertujuan meningkatkan peran dan kontrol nasional dalam pengusahaan mineral dan batubara," ujarnya.
Soal penguatan peran nasional dalam pemanfaatan tenaga kerja, barang dan jasa, badan usaha beranggapan sebagian besar perusahaan jasa nasional belum kompeten. Di sisi lain, pemerintah bersikukuh tetap menerapkan kewajiban pemanfaatan tenaga kerja, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber : kompas.com
1 komentar:
Pertambangan telah menyebabkan banyak persoalan yang semakin membuat kehidupan rakyat Indonesia semakin terpuruk.
1. Tingkat monopoli tanah yang sangat besar yang berdampak pada semakin minimnya tingkat penguasaan tanah oleh rakyat.
2. Tingkat monopoli tanah yang sangat besar, tidak sebanding dengan serapan tenaga kerjanya. Justeru yang terjadi adalah, tingkat pengangguran yang semakin tinggi karena semakin banyak rakyat yang kehilangan alat produksinya (petani yang dirampas tanahnya).
3. Kampanye yang dibangun pemerintah bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima pertambangan agar bisa sejahtera. Namun pada kenyataannya, sumbangan pertambangan sangat rendah jika diukur dari tingkat monopoli tanah, serapan tenaga kerja, dan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan pertambangan tersebut. Akibatnya keberadaan tambang justeru tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dari tingkat kemiskinan yang sangat tinggi di daerah-daerah penghasil tambang seperti Papua, NTB, Riau, Aceh, dan sebagainya.
4. Pertambangan telah berdampak besar pada kerusakan lingkungan hidup yang juga berdampak lanjut pada semakin rendahnya pendapatan rakyat. Misalnya dengan semakin berkurangnya debit air untuk kebutuhan perairan pertanian rakyat.
5. Orientasi industri tambang hanya untuk memproduksi bahan mentah bagi kebutuhan industri asing (imperialis) sehingga tidak pernah mampu memperbesar dan memandirikan industri nasional. Akibatnya industri indonesia selalu bergantung pada impor bahan baku dari hasil produksi industri asing (imperialis).
Kelima hal ini harus menjadi catatan penting dalam renegoisasi kontrak pertambangan.
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.