Tuesday, September 6, 2011

Pertambangan Tidak Mampu Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat NTB !


Oleh : Mario Kulas

Perkembangan industri pertambangan di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Opini yang dibangun kemudian, seolah-olah tidak ada pilihan lain selain menerima pertambangan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kesejahteraan. Namun kenyataan memaparkan hal yang berbeda, bahwa pertambangan belum mampu mensejahterahkan masyarakat lokal.

Pada diskusi dan pameran Peran Industri dalam Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan yang diselenggarakan Enviromental Geography Student Association (EGSA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (7/1/2011), Ahli Geografi Ekonomi Kependudukan; Abdur Rofi memaparkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik, daerah-daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru merupakan daerah termiskin di Indonesia. Provinsi Riau, misalnya, menyumbang lebih dari 50% total produksi dan devisa minyak bumi. Namun, Dewan Ketahanan Pangan Riau mendata 663 desa di Riau berstatus rawan pangan. Tingkat kemiskinan Riau pun tergolong tinggi, mencapai 22,19% dari total penduduk Riau. Di Papua Barat, angka kemiskinan mencapai 36,8%, di Papua 34,88% , dan di Aceh mencapai 20,98 persen. (Kompas, 7/1/2011)

Demikian halnya dengan yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, hingga bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin di provinsi NTB mencapai 1.009.352 orang  atau 21,55% dari total penduduk NTB. Hal ini menempatkan NTB dalam urutan ke enam propinsi termiskin di Indonesia.

Minimnya kontribusi perusahaan pertambangan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, secara langsung telah memicu peningkatan gerakan protes rakyat terhadap sektor pertambangan, baik dalam soal menolak pertambangan itu sama sekali, ataupun sekedar menggugat sejauh mana pertambangan mampu mensejahterakan rakyat.

Demikian halnya dengan yang terjadi di propinsi NTB yang dalam beberapa bulan terakhir ini, diramaikan dengan gerakan protes rakyat terkait dengan keberadaan industri pertambangan. Misalnya aksi rakyat Pringgabaya Lombok Timur terkait dengan tambang pasir besi yang sampai berujung pada pengusiran Bupati saat meninjau lokasi pertambangan, aksi rakyat Bima di kecamatan Langgudu, Parado, dan Sape yang menolak pertambangan hingga bertampak pada bentrokan dengan aparat keamanan, pembakaran camp milik PT Indotan Lombok Barat Bangkit di Sekotong-Lombok Barat, sampai pada aksi-aksi rakyat di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) terkait dengan keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), baik dalam soal divestasi saham, sampai pada soal lapangan pekerjaan.

Menjadi pertanyaan kemudian, jika benar bahwa pertambangan mampu mensejahterakan rakyat, mengapa selalu ada gejolak perlawanan rakyat terhadap keberadaan tambang, dan apakah benar sektor pertambangan merupakan satu-satunya cara tuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat, khususnya yang ada di NTB?

Tingkat penguasaan tanah yang tak sebanding dengan serapan lapangan pekerjaan.
Hingga Juli 2011, terdapat sekitar 197 Perusahaan tambang di NTB, dengan rincian 68 perusahaan logam, 28 perusahaan non logam, dan 101 perusahaan batuan (Suara NTB, 16/7/2011). Luas Wilayah Pertambangan (WP) yang direncanakan pemerintah propinsi NTB adalah sebesar 891.590 hektar atau 44,24% dari total luas daratan NTB.

Namun jumlah penguasaan tanah oleh sektor pertambangan tersebut, tidak sebanding dengan daya serap atas lapangan pekerjaan bagi penduduk NTB. Berdasarkan data BPS NTB, dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2009 sebesar 1.967.380 orang, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 33.068 orang atau 1,68%. Dan hingga Agustus 2010, BPS NTB mencatat bahwa dari jumlah angkatan kerja di Provinsi NTB sebanyak 2.252.076, jumlah yang bekerja adalah mencapai 2.132.933 orang atau 94,71%. Dengan demikian jumlah pengangguran di NTB mencapai 119.143 orang atau sekitar 5,29%. Namun dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2010, jumlah yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 18,9%, sedangkan yang bekerja di sektor informal mencapai sekitar 81,1%. Dengan demikian, angka pengangguran di NTB sesungguhnya jauh lebih besar dari 5,29%.

Jika dikalkulasikan dari luas WP sebesar 891.590 hektar dengan jumlah serapan tenaga kerja yang mencapai 33.068, maka rata-rata penguasaan tanahnya mencapai 26,96 hektar/orang. Jumlah tersebut sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah luas lahan dan serapan tenaga kerja di sektor pertanian yang mana rata-rata kepemilikan tanahnya hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan rasio 3 hingga 5 orang per satu rumah tangga pertanian.

Sejauh ini jumlah lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian pangan adalah sebesar 497.893 hektar, terdiri dari lahan irigasi seluas 146.916 hektar, non irigasi 35.339 hektar, lahan tadah hujan seluas 28.553 hektar dan lahan kering seluas 287 hektar. Sedangkan untuk lahan perkebunan mencapai 175.863,45 hektar. Sementara jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian NTB hingga Agustus 2010 adalah sebanyak 1.005.240 orang atau 47,1% dari total penduduk NTB usia 15 tahun yang bekerja. Disatu sisi, laju pertumbuhan alih fungsi lahan pertanian di NTB mencapai 4% setiap tahunnya.

Tingginya penguasaan tanah oleh sektor pertambangan yang berdampak pada semakin sempitnya penguasaan tanah pertanian rakyat, disatu sisi rendahnya daya serap tenaga kerja oleh sektor pertambangan, telah menjadi penyebab utama dari semakin tingginya jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Hingga tahun 2009, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) legal asal NTB adalah mencapai 53.731 (NTB Dalam Angka, 2010).

Rendahnya pendapatan sektor pertambangan.
Jika di ukur dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, sumbangan sektor pertambangan juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan sektor pertanian. Misalnya pada triwulan II tahun 2011, sektor pertambangan menyumbang sebesar Rp 2,81 triliun atau sekitar 25,09%, sementara sektor pertanian sebesar Rp 2,53 triliun atau sekitar 22,50% dari total PRDB NTB. Jika dibandingkan dengan tingkat penguasaan tanah dan serapan tenaga kerja, maka persentase sumbangan dari sektor pertambangan tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor pertanian.

Inilah salah satu kelemahan terbesar dari sistem perekonomian di Indonesia yang sebatas mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi, tanpa berbicara tentang pemerataan, seberapa besar peningkatan kualitas hidup rakyat secara riil.

Rendahnya pendapatan daerah dari sektor pertambangan, serta rendahya rata-rata pendapatan rakyat NTB, khususnya kaum tani akibat dari sempitnya penguasaan tanah, telah memberikan sumbangsih pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat NTB dalam berbagai sektor. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB hingga saat ini masih menempati urutan ke-32 dari 33 propinsi di Indonesia. Sampai akhir tahun 2010, jumlah buta aksara di NTB masih sebanyak 225.478 orang. Dan rata-rata lama sekolah di wilayah NTB hanya mencapai 7,2 tahun. Sedangkan angka putus sekolah tingkat SD, selama tahun 2010 mencapai 5.578 orang dari total 600 ribu orang, SLTP mencapai 2.415 orang dari total 170.560 siswa, SMA mencapai 1.966 dari total 92.445 orang siswa, dan SMK mencapai 955 orang dari total 35.990 orang siswa. Data angka putus sekolah ini baru dari sekolah dibawah pengawasan langsung Dikpora provinsi dan kabupaten/kota, belum termasuk sekolah dibawah Kanwil Agama yang juga ada yang putus sekolah.

Sementara tingkat pendidikan tenaga kerja NTB juga masih di dominasi oleh lulusan SD. Hingga tahun 2009, dari jumlah pencari kerja yang sudah di tempatkan mencapai 24.550 orang, lulusan SD ke bawah sebanyak 14.442 orang atau 59%, SLTP sebanyak 6.541 atau 26,5%, SLTA sebanyak 2.710 atau 11%, sedangkan Diploma dan Sarjana hanya mencapai 857 orang atau 4,5%.

Ancaman bagi kerusakan lingkungan.
Persoalan lainnya adalah dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat keberadaan aktifitas pertambangan. Dari total luas WP yang direncenakan Pemprop NTB mencapai 891.590 hektar, yang berada di dalam kawasan hutan adalah seluas 479.311,13 hektar (53,75%) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektar (46,25%). Bahkan untuk Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dari 126.261 hektar luas kawasan hutan, termasuk hutan lindung, sekitar 90% nya merupakan wilayah pertambangan.

Akibatnya jumlah sumber air di NTB terus mengalami pengurangan yang sangat signifikan dan mengancam terjadinya krisis air. Data versi Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB, wilayah NTB telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktek illegal logging dan eksploitasi tambang secara berlebihan. Mata air di wilayah NTB yang dulunya mencapai 500 titik kini tinggal 120-an titik saja karena terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS.

Hal ini terus berdampak pada peningkatan luas lahan kritis di NTB. Dari data yang ada, sebanyak 64 ribu hektar lahan kering dari total 1.807.463 hektar atau 84,19% dari total luas lahan pertanian di wilayah NTB, telah terdegradasi atau mengalami penurunan fungsi. Lahan kering yang mengalami degradasi itu merupakan bagian dari lahan kritis seluas 527.800 hektar atau sekitar 26% dari luas daratan NTB, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 hektar dan lahan kritis nonhutan seluas 368.800 hektar, terutama di kawasan hutan Lombok Tengah bagian selatan dan sebagian besar Sumbawa. Selain itu, sekitar 480 ribu hektar hutan lindung, 419 ribu hektar hutan produksi, 170 ribu hektar non produksi termasuk 41 ribu hektar di dalam kawasan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan 128 ribu hektar kawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) juga mengalami degradasi 50 ribu hektare setiap tahunnya.

Newmont: lebih banyak buntung daripada untung.
Dari 197 perusahaan pertambangan yang ada di NTB, PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) menempati urutan pertama dengan tingkat monopoli tanah terbesar yakni seluas 87.450 hektar. Memang benar bahwa PT NNT merupakan satu-satunya industri di NTB dengan daya serap tenaga kerja terbesar dengan jumlah buruh sebanyak 4.067 orang dan buruh perusahaan sub kontrakan sebanyak 3.000 orang. Namun, jika dibandingkan luas lahan yang dikuasai dengan jumlah tenaga kerja yang diserap, maka rata-rata kepemilikan tanahnya bisa mencapai 12,4 hektar/orang. Jika dibandingkan dengan rata-rata kepemilikan tanah petani di NTB yang hanya mencapai 0,3 hektar/rumah tangga pertanian dengan rasio 3-5 orang/satu rumah tangga pertania, maka daya serap tenaga kerja oleh PT NNT masih sangat kecil.

Sekalipun menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB, pada kenyataannya angka kemiskinan termasuk yang ada di lingkar tambang Batu Hijau di KS, masih sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang misalnya, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4% dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau 16,83% dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau 23,04% dari 2.206  KK. Sementara total KK msikin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46% dari total jumlah KK yang bermukim di KSB. Demikian halnya dengan jumlah TKI resmi dari KSB pada tahun 2009 yang mencapai 1.521 atau 1,50% dari total penduduk KSB.

Jika dikatakan bahwa PT NNT telah berhasil memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat KSB dengan tingginya upah buruh, namun hal itu hanya berlaku bagi buruh PT NNT saja, sementara perusahaan sub kontrak PT NNT belum tentu menerapkan standar upah yang sama. Disisi lain, keberadaan PT NNT juga berdampak pada tingginya biaya hidup di KSB. Sehingga sekalipun terjadi peningkatan pendapatan masyarakat KSB, biaya hidup juga meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di NTB.

Belum lagi jika dibandingkan antara kewajiban keuangan PT NNT terhadap Pemerintah Pusat dengan propinsi NTB, seperti beberapa fakta yang di kemukakan Pemda KSB, dari data tahun 2010, dana yang diterima kas daerah dari konstribusi langsung PT NNT, misalnya PBB, PPH, Land Rend (pajak tanah), royalti serta pendapatan lain-lain pemerintah daerah (LLPD) seperti scrap (masuk dalam komponen perhitungan  dana perimbangan), totalnya hanya berjumlah, Rp 117.777 miliar. Sementara dana yang diterima pemerintah pusat dari konstribusi yang sama ditahun yang sama pula, berjumlah lebih dari Rp 4,344 trilliiun atau 1 berbanding 4.000. Bahkan sejak tahun 2005 hingga 2010, total penerimaan negara dari operasi tambang batu hijau khusus dari komponen tadi berjumlah Rp 14,784 trilliun sementara total yang diterima daerah selama ini hanya Rp 610,273 miliar atau kurang dari 1% total penerimaan negara.

Sementara itu, dari perhitungan nilai produksi (revenue) PT NNT sejak beroperasi tahun 1999 hingga 2005 saja, keuntungan yang di raih PT NNT berjumlah US$ 5,408 miliar atau tiga kali lipat dari nilai investasi yang sudah dikeluarkan PT NNT dalam membuka operasi Batu hijau yang hanya berjumlah US$ 1,9  Miliar. Dengan demikian, dalam kurun waktu hanya 7 tahun, PT. NNT sudah untung tiga kali lipat.

Persoalan lainnya adalah dampak lingkungan dari pembuangan tailing diteluk Senunu kecamatan Sekongkang yang mencapai 120 ribu – 140 ribu ton per harinya. Jumlah ini merupakan 40 kali lipat lebih banyak dari jumlah tailing yang dibuang PT Newmont Minahasa Raya telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta telah menimbulkan berbagai penyakit yang diderita masyarakat disekitar Teluk Buyat.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pertambangan belum mampu mensejahterahkan masyarakat, justeru sebaliknya berdampak buruk pada kerusakan ekosistem, semakin minimnya penguasaan lahan oleh petani yang terus berdampak semakin pendapatan kaum tani. Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah propinsi dan kabupaten tidak lagi bergantung pada sektor pertambangan dengan alasan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke blog ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More